DEMOCRAZY.ID - Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa Presiden ke-2 Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun saja bisa lengser pada akhirnya.
Hal tersebut disampaikan Ikrar dalam program Gaspol! Kompas.com, seperti disiarkan kanal YouTube Kompas.com, Sabtu (4/11/2023).
Awalnya, Ikrar menyebut bahwa Jokowi sedang merasa berada di atas angin saat ini lantaran bisa menguasai segalanya.
"Presiden ini sekarang sedang merasa beliau lah yang ada di atas angin. Kekuasaan dia itu bulat, utuh, tidak terbagi-bagi, menguasai tiga trias politika itu, dan menguasai kekuasaan-kekuasaan negara di bidang eksekutif. Yang saya katakan itu adalah dia menguasai ASN, polisi, TNI, intelijen, dan sebagainya," ujar Ikrar.
Kemudian, Ikrar mengingatkan bahwa, sekuat-kuatnya kekuasaan, jika rakyat menghendaki untuk berhenti maka pasti pemerintahan itu akan jatuh pada akhirnya.
Ia lantas menyebut kalimat itu juga pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi sendiri.
"Kenapa demikian? Presiden Jokowi ini kan merasa dia bisa memerintahkan polisi, TNI, dan sebagainya," kata Ikrar.
"Tapi Anda tahu? Dia bukan komandan langsung, bukan Panglima langsung yang kemudian bisa memberikan komando kepada institusi-institusi ini. Kan harus melalui Panglima, atau Kepala Staf Angkatan Darat, atau siapa pun," ujarnya lagi.
Menurut Ikrar, apa yang sedang dimiliki Jokowi saat ini hanyalah ilusi kekuasaan semata.
Ia kemudian mengungkit Soeharto yang pada akhirnya jatuh padahal sudah 32 tahun berkuasa dan sangat memegang institusi TNI. Sementara Jokowi baru menjabat sembilan tahun.
"Dibandingkan Soeharto yang sudah menguasai institusi TNI selama 32 tahun, atau taruhlah dia (Jokowi) menguasai TNI-Polri selama 10 tahun, Pak Harto yang 32 tahun saja akhirnya bisa lengser," kata Ikrar.
Ikrar mengatakan, kala itu Soeharto didesak mundur karena dikehendaki oleh rakyat. Sebab, ekonomi Indonesia sudah sangat rusak parah saat itu.
Kemudian, ia menyebut ekonomi saat ini juga sedang anjlok lantaran stok sahamnya sedang merugi.
"Yang punya duit banyak rugi, yang punya duit dikit juga rugi. Apalagi rakyat kecil yang tidak punya kapasitas ekonomi untuk hidup dalam situasi yang makin parah ini," ujarnya.
Sementara itu, Ikrar mengatakan, pada tahun 1998 lalu, ABRI akhirnya berpihak kepada rakyat saat Soeharto jatuh.
"Bahwa akhirnya yang namanya ABRI dulu itu akhirnya dia give up untuk menjaga penguasa dan kemudian mereka menyatu dengan rakyat dan terjadilah peristiwa 98 itu. Itu kan pintu Gedung DPR/MPR itu kalau Pak Wiranto pada saat itu tidak berikan lampu hijau untuk dibuka, enggak bisa masuk," kata Ikrar Nusa Bhakti. [Democrazy/Kompas]