KPK tak kunjung menetapkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej sebagai tersangka suap. Dampak pelemahan KPK.
TERSENDATNYA pengusutan perkara suap dan gratifikasi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej makin menebalkan fakta mudahnya memainkan kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses hukum yang semestinya berjalan tegak sesuai dengan aturan kini mudah diintervensi aparat nakal.
KPK menyelidiki dugaan korupsi Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej sejak Maret lalu. Kasus ini bermula ketika Eddy dilaporkan memperdagangkan kewenangan dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan pemilik konsesi 2.000 hektare tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dia disebut-sebut menerima suap Rp 7 miliar melalui rekening dua asistennya, yakni Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana.
Penyerahan besel tersebut berkaitan dengan keputusan Eddy memihak salah satu kubu yang bersengketa. Sebagai wakil menteri, dia leluasa mengintervensi bawahannya agar menerima permohonan pendaftaran perubahan akta perusahaan dari satu kubu yang berseteru melalui Sistem Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum dan HAM.
Mendapat bukti telak, seperti pengakuan langsung pemberi suap dan dokumen bukti transfer uang, KPK awalnya bergerak cepat mengumpulkan bukti. Apalagi, dalam pengembangan penyelidikan, penyelidik juga menemukan transaksi mencurigakan lain yang masuk ke rekening anak buah Eddy.
KPK sesungguhnya telah mengendus data keluar-masuk uang di dua rekening bank anak buah Eddy dalam tiga tahun terakhir. Nilainya Rp 118,7 miliar uang masuk dan Rp 116,7 miliar uang keluar.
Dari jumlah itu, transaksi yang mencurigakan sebesar Rp 90 miliar. Seharusnya dengan bukti itu KPK bisa langsung menetapkan Eddy sebagai tersangka penerimaan suap dan gratifikasi.
Empat pemimpin KPK minus Firli Bahuri, karena Firli lagi dinas ke Korea Selatan, bersama tim penyelidik, penyidik, dan penuntut telah melakukan gelar perkara pada 27 September lalu.
Hasilnya, mereka bersepakat penanganan kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi Eddy Hiariej naik ke tahap penyidikan. Tak hanya tersangkut soal suap dan gratifikasi, Eddy akan dijerat dengan pasal pencucian uang.
Namun keputusan itu tak kunjung tereksekusi karena Direktur Penyelidikan KPK Brigadir Jenderal Endar Priantoro menyimpan laporan kejadian tindak pidana korupsi rapat-rapat. Padahal surat tersebut menjadi syarat KPK menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka.
Cara Endar mengabaikan amanah gelar perkara dan perintah pimpinan KPK jelas mencurigakan. Jika tidak sedang melindungi Eddy Hiariej, dia semestinya tidak mengulur-ulur penanganan perkara.
Dalih bahwa guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu banyak berjasa untuk kepolisian, institusi asal Endar, tentu mengada-ada.
Penundaan penetapan Eddy Hiariej sebagai tersangka bisa memunculkan syak wasangka KPK mendapat pesanan lembaga lain. Endar punya jejak penting dalam konflik KPK dan kepolisian.
Pada April lalu, dia bersama Inspektur Jenderal Karyoto—mantan Deputi Penindakan KPK yang sekarang menjadi Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya—dikembalikan ke Kepolisian RI oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Putusan itu dibatalkan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Endar kembali ke KPK.
Main-main dalam penetapan tersangka kasus korupsi yang sudah terang akan menambah panjang daftar kekacauan di KPK.
Sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri terendus mengulur penetapan status tersangka terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang tersangkut perkara pemerasan, suap, dan pencucian uang. Firli diduga meminta suap kepada Syahrul yang kini diusut polisi Jakarta sebagai kasus pemerasan.
Intervensi politik dan leluasanya para petinggi memainkan perkara merupakan potret teranyar lembaga antikorupsi yang sempat memberi banyak harapan menjadi tameng Indonesia bersih dari korupsi ini.
Kerusakan sistemik KPK bermula ketika Presiden Joko Widodo meminta Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang KPK pada 2019 dan menempatkan lembaga ini di bawah rumpun eksekutif.
Centang-perenang KPK Jokowi membuat sebuah dugaan kejahatan seperti yang dilakukan Eddy Hiariej bobrok paripurna: korupsi oleh ahli hukum yang menjadi pejabat lembaga hukum dan kemudian menjadi alat tawar kepentingan politik para penegak hukum.
Sumber: Tempo