DEMOCRAZY.ID - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie membacakan sembilan isu yang muncul dalam laporan terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. Apa saja?
"Jadi mari kita mendengar sudut pandang itu dengan berbeda-beda supaya ketemu perbedaan itu. Saya bisa rangkum ya," kata Jimly dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2023).
Pertama, menurut Jimly, pelapor mempermasalahkan hakim yang dinilai punya kepentingan tidak mengundurkan diri dalam memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia capres-cawapres.
Dalam perkara tersebut, Ketua MK yang merupakan ipar dari Presiden Joko Widodo ikut memutuskan perkara tersebut.
Putusan itu pun dianggap sarat kepentingan lantaran membuka jalan mulus untuk anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres dari KIM.
"Jadi dari apa yang diajukan ini sudah ada beberapa isu. Saya bisa rangkum ya. Jadi yang Anda persoalkan hari ini, utamanya itu soal hakim tidak mengundurkan diri, padahal dalam perkara yang (ditangani) dia punya kepentingan, perkara yang dia punya hubungan keluarga. Ini satu," kata Jimly.
Permasalahan kedua Jimly menuturkan hal yang paling banyak dipersoalkan yakni isu mengenai hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.
"Ketiga, ini ada hakim yang menulis dissenting opinion (perbedaan pendapat dalam putusan) tapi bukan mengenai substansi. Jadi dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh-kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah (urusan) internal," ucap Jimly.
Lalu keempat, isu mengenai adanya hakim yang berbicara masalah internal MK di publik. Ia mengatakan ada hakim bicara masalah internal di luar. Hal itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi MK.
Kelima, pelanggaran prosedur, registrasi dan persidangan yang diduga atas perintah ketua hakim. Lalu keenam, ada juga soal pembentukan MKMK yang dianggap lambat. Padahal sudah diperintahkan oleh UU.
"Dewan etik Pak Bintan dulu mantan Dewan Etik, tapi setelah 2 tahun terakhir ya sudah nggak ada, mati suri. Jadi nggak dibikin-bikin," tuturnya.
Ketujuh, soal manajemen dan mekanisme pengambilan keputusan. Kedelapan, ini MK dijadikan alat politik. Politik praktis dan lain-lain. Memberi kesempatan kekuatan dari luar menginterfensi ke dalam dengan nada kesengajaan.
"Itu ada juga yang mempersoalkan kaya gitu," ucap Jimly.
Kesembilan, isu mengenai adanya pemberitaan di media yang sangat rinci. Menurutnya, hal ini menjadi masalah internal MK.
"Kok terbuka, keluar. Artinya, ada masalah serius di dalam (MK). Kan enggak boleh. Yang rahasia kok ketahuan. Kayak Pak Petrus (salah satu Pelapor) ini punya (bukti rekaman) CCTV, nonton bagaimana berdebatnya hakim. Sampai begitu kok tau semua. Berarti ada masalah. Sumber dari dalam MK," ungkapnya.
"Bisa hakimnya bisa karyawannya. Ini semua, 9 isu ini itu sudah menjadi substansi laporan. Nah dari 9 itu Anda tadi kira-kira ada 3. Biar kasih kami kesempatan menuntaskan pemeriksaan karena kita harus memberi kesempatan pelapor, siapa tau ada lagi nih dari 9 isu ini. Kita kumpulin. Pokoknya kami berniat bagaimana mengawal kepercayaan publik dan penegakan kode etik itu bukan menghukum untuk maksud membalas kesalahan," pungkasnya. [Democrazy/detik]