'Habis-Habisan Tabrak Etik Demi Gibran'
Anwar Usman telah dicopot dari jabatannya selaku Ketua Mahkamah Konstitusi. Menurut Majelis Kehormatan MK, ia tak hanya menabrak satu-dua kode etik, melainkan lima sekaligus. Dari prinsip ketakberpihakan, integritas, sampai independensi, semua dilindas.
MKMK menyatakan, Anwar Usman melanggar prinsip independensi dengan membuka ruang intervensi dari pihak luar. Sejumlah sumber bahkan menyebut, ada pertemuan diam-diam antara beberapa hakim konstitusi dengan petinggi partai. Benarkah demikian?
***
Tujuh mantan hakim Mahkamah Konstitusi berkumpul di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (7/11). Ada yang bertemu tatap muka, dan ada yang melalui sambungan dalam jaringan.
Mereka melakukan pertemuan singkat membahas putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) mengenai kasus pelanggaran etik Anwar Usman yang baru saja diketok malam itu. Anwar, paman Gibran Rakabuming, diberhentikan dari jabatannya selaku Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat.
Putusan MKMK itu tak pelak membuat para eks hakim konstitusi prihatin. Ketua MK 2013–2015 Hamdan Zoelva berkata, “Banyak sekali hal-hal yang seharusnya tidak boleh terjadi pada hakim dan Mahkamah Konstitusi.”
Sidang etik Anwar Usman digelar usai MK mendapat aduan dari 16 pelapor. Mereka menyoal dugaan pelanggaran etik oleh Anwar saat membuat Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90) yang membuat norma baru dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Putusan 90 memperluas makna batas usia capres/cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu dari yang semula minimal 40 tahun menjadi boleh di bawah umur tersebut asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah dari hasil pemilihan umum, termasuk pilkada.
Putusan 90 menjadi kontroversi karena membuka jalan bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto. Sebelum Putusan 90, usia Gibran tak memenuhi syarat pencalonan karena baru 36 tahun per 1 Oktober 2023.
Anwar dilaporkan ke MKMK karena dituding memiliki konflik kepentingan dalam memutus perkara tersebut, sebab ia masih berkerabat dengan Gibran. Anwar ialah adik ipar Jokowi. Artinya, ia paman Gibran.
Majelis Hakim MKMK berkeyakinan Anwar melanggar 5 dari 7 kode etik hakim konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Itu sebabnya mereka memutus Anwar melakukan pelanggaran etik berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK.
Selain itu, Anwar dilarang lagi turut memeriksa dan memutus perkara terkait perselisihan hasil pemilu (baik pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPR, maupun pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota) karena berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Salah satu hakim MKMK, Bintan R. Saragih, memiliki pendapat berbeda terkait putusan MKMK yang “hanya” mencopot Anwar dari jabatan ketua (namun masih menjadi hakim MK). Menurut Bintan, karena terbukti melakukan pelanggaran berat, sanksinya mestinya pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sesuai Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Namun Majelis Hakim berpendapat, jika sanksinya PTDH, hal itu membuka celah bagi Anwar untuk melakukan banding sebagaimana juga diatur dalam Peraturan MK. Ada pula persoalan administrasi karena mekanisme Majelis Kehormatan Banding belum diatur teknisnya dalam Peraturan MK terpisah.
“Kalau saya ditanya, apakah cukup alasan untuk memberhentikan [Anwar Usman] tidak dengan hormat? Menurut saya, cukup, sebagaimana pendapat Prof. Bintan. Tetapi kembali kepada kemanfaatan, keadilan, dan kepastian,” ujar mantan hakim MK I Dewa Palguna yang juga membahas putusan MKMK bersama enam mantan hakim konstitusi lainnya.
Sarat Konflik Kepentingan dan Intervensi
Lima kode etik yang dilanggar Anwar Usman ialah Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Majelis Hakim tidak menyebut mana pelanggaran Anwar yang paling berat.
I Dewa Palguna menjelaskan, tidak ada ukuran pasti untuk menentukan pelanggaran terberat karena semua itu bergantung pada temuan fakta di persidangan, apakah bobot kualitatif (jenis pelanggaran) atau kuantitatifnya (banyaknya pelanggaran).
Namun, menurut Palguna, pelanggaran paling berat dalam kasus Anwar Usman ialah terbukanya ruang intervensi dari pihak di luar MK. Tanpa dibarengi pelanggaran etika lain pun, ujar Palguna, pelanggaran yang satu itu termasuk kategori berat.
“Bahkan sampai putusan diucapkan pun, apa yang terjadi di ruang rapat permusyawaratan hakim itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Jadi satu itu saja menurut saya sudah berat,” katanya.
Intervensi dari luar sebagai pelanggaran terberat oleh Anwar Usman tak dirinci oleh Majelis Hakim MKMK. Akan tetapi, dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim Arief Hidayat pada Putusan 90, ia merasa terusik dan ingin menyuarakan keganjilan atas putusan tersebut. Arief menyinggung-nyinggung perlunya integritas, independen, imparsial, dan bebas dari intervensi politik sebagai hakim MK.
Keganjilan itu menurutnya berpangkal dari 5 gugatan serupa mengenai batas usia capres-cawapres yang dimohonkan berbagai pihak, yaitu perkara nomor 29, 51, 55, 90, dan 91/PUU-XXI/2023.
Tiga perkara awal yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah lebih dulu diputuskan melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September. Pada RPH itu, Anwar Usman yang masih menjabat sebagai Ketua MK tidak hadir. Alasannya, ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra yang memimpin rapat itu, Anwar hendak menghindari konflik kepentingan.
Menurut Saldi dalam dissenting opinion Arief, isu hukum yang diputus pada 3 perkara gugatan batas usia capres-cawapres tersebut menyangkut Gibran yang merupakan kerabat Anwar, sebab putra sulung Presiden Jokowi itu berpotensi diusung di kontestasi Pilpres 2024.
Pada perkara nomor 29, 51, dan 55 itu, mayoritas hakim MK—minus Anwar—menolak permohonan tersebut. Aturan soal batas usia capres-cawapres dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) oleh MK.
Namun, dua hari kemudian, 21 September, saat memeriksa dan memusyawarahkan perkara nomor 90 dan 91 dengan pemohon masing-masing kakak-adik Almas Tsaqibbiru dan Arkaan Wahyu yang merupakan mahasiswa universitas di Solo cum anak dari Ketua MAKI Boyamin Saiman, Anwar Usman tetiba turut dalam rapat permusyawaratan hakim.
Kejadian inilah yang disebut hakim Arief Hidayat sebagai, “Tindakan di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar.”
Anwar berdalih, ia tak ikut dalam RPH 19 September bukan karena menghindari konflik kepentingan (seperti kata Saldi Isra), melainkan karena alasan kesehatan.
Hakim Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyebut perubahan komposisi hakim dari 8 menjadi 9 dalam perkara konstitusional yang serupa, membuat amar putusan berbalik 180 derajat.
“Dari menolak menjadi mengabulkan—meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” kata Saldi menjelaskan soal Putusan 90.
Perbedaan keterangan soal alasan ketidakhadiran dalam RPH itulah yang kemudian memunculkan dugaan kebohongan dari Anwar Usman. Tetapi, dalam sidang MKMK, majelis hakim tak menemukan bukti mengenai kebohongan itu.
Meski demikian, Majelis Hakim MKMK menyimpulkan Anwar Usman telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam memutus Putusan 90. Hal ini melanggar kode etik Prinsip Independensi poin penerapan 1, 2, dan 3 di Sapta Karsa Hutama.
Dalam poin-poin tersebut, hakim konstitusi wajib menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, rayuan, tekanan, ancaman, hingga campur tangan, termasuk dari lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga negara lainnya dalam memutuskan perkara.
Sejumlah sumber menyebut, intervensi terjadi dalam bentuk pertemuan politisi, yakni pimpinan Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dengan beberapa hakim. Hal itu juga didengar oleh sumber lain yang seminggu sebelum putusan menyebut bahwa petinggi Gerindra masih mengupayakan agar gugatan syarat capres-cawapres dapat goal di MK.
Namun, hal tersebut ditampik oleh Gerindra. Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman, informasi itu omong kosong. Putusan MKMK pun tidak menyebut adanya peristiwa semacam itu.
“Kalau nggak ada di situ (putusan), berarti fitnah. Yang fitnah bisa ditangkap dan dijatuhi pidana karena putusan MKMK sudah jelas. Tidak ada satu pun bukti ada intervensi [Gerindra], apalagi sampai ada pertemuan [dengan hakim],” ujarnya.
Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Gerindra dan Wakil Ketua DPR yang disebut-sebut namanya, sama membantah. Kepada kumparan, ia menegaskan, “Jangankan ketemu [hakim], komunikasi saja enggak pernah.”
Sementara itu, Anwar Usman menampik semua tuduhan pelanggaran etik yang diputus MKMK terhadapnya.
“Fitnah yang dialamatkan kepada saya terkait penanganan perkara Nomor 90/PUU/XXI/2023 adalah fitnah yang amat keji, dan sama sekali tidak berdasarkan hukum dan fakta,” kata Anwar di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11).
Bisakah Putusan MK Dibatalkan karena Cacat Etik?
Kehadiran Anwar Usman dalam RPH perkara gugatan batas usia capres-cawapres membuat sikap MK pada putusan-putusan sebelumnya berbalik total di Putusan 90.
Sejumlah pelapor Anwar sempat menyoal legitimasi pencawapresan Gibran yang berlandaskan Putusan 90, sebab putusan itu diketok oleh hakim yang melanggar etika. Seorang pelapor, Denny Indrayana, bahkan kembali mengajukan permohonan ke MK pada 3 November (empat hari sebelum pembacaan putusan MKMK soal pelanggaran etik hakim).
Kali ini, Denny dan rekannya, Zainal Arifin Mochtar, mengajukan permohonan uji formil atas Putusan 90. Keduanya meminta MK menyatakan pemaknaan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam Putusan 90 bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“... demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” - Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
Poin tersebut, menurut Denny, lahir dari putusan yang cacat formil/tidak sah karena mengandung benturan kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman. Oleh sebab itu, menurut Denny, MK memiliki kewenangan berikut:
“Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim berbeda.” - Pasal 17 ayat (7)
Denny berpendapat, putusan hukum yang hadir dengan pelanggaran etika seharusnya batal moralitas hukumnya.
“Tegasnya, hukum tanpa moralitas, tidak ada artinya, dan karenanya batal demi hukum,” kata Denny, Rabu (8/11).
Mantan hakim MK I Dewa Palguna sepakat bahwa jika terdapat konflik kepentingan antara hakim dan perkara yang ia tangani, maka hakim tersebut mesti mundur, termasuk Anwar Usman.
“Kalau membaca Sapta Karsa Hutama, khususnya prinsip imparsialitas. Dia (Anwar) tidak perlu dibicarakan [keharusan mundurnya] dalam RPH. Harus datang dari panggilan [hati] yang bersangkutan—manakala terdapat konflik kepentingan, ya harus mengundurkan diri,” kata Palguna.
Di sisi lain, ia berpendirian putusan MK bersifat final dan mengikat, sebab sesuai Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Palguna juga kurang setuju dengan uji formil terhadap putusan MK. Menurutnya, MK bukan legislator positif (pembuat norma), melainkan legislator negatif (pembatal norma jika norma itu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi).
Namun, Denny berpendapat, dalam Putusan 90, MK sedang mendudukkan diri sebagai legislator positif karena ia membentuk sebuah norma UU melalui produk putusan. Karenanya, segala ketentuan mengenai formalitas pembentukan UU juga berlaku di putusan itu.
Zainal Arifin bersikukuh bahwa Putusan 90 tidak diambil melalui cara yang benar karena mengandung konflik kepentingan. Menurutnya, keputusan akan lain jika sedari awal Anwar Usman tak ikut memutuskan perkara 90.
“Paling penting, sekarang MK selesaikan, mau apa gugatannya (putusannya)? Mau melarang Gibran ikut atau menyuruh Gibran ikut [kontestasi Pilpres], terserah MK. Paling tidak, kami persoalkan Putusan 90 yang diambil dengan cara nggak benar,” ujar Zainal.
Semua untuk Gibran
Dalam sepekan jelang putusan MK, pengurus Gerindra di berbagai daerah secara simultan mendukung Gibran sebagai cawapres Prabowo; dan para relawan Jokowi mendeklarasikan dukungan capres untuk Prabowo. Orkestra politik begitu apik. Siapa jadi dirigen?
Dua pekan sebelum Denny dan Zainal melayangkan permohonan, pada 25 Oktober seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama, Brahma Aryana, telah meregistrasikan gugatan ke MK dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.
Brahma memohon uji materiil terhadap Putusan 90 yang telah memberikan pemaknaan baru pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu—yang memperluas makna batas usia capres-cawapres dengan membolehkan calon berumur kurang dari 40 tahun ikut mendaftar asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Permohonan Brahma tersebut mendapat pujian dari Jimly Asshiddique. Ketua MKMK itu mengatakan, baru pertama kali terjadi dalam sejarah RI, ada permohonan judicial review pasca-perkara diputus MK, dengan isu konstitusional yang sama, namun tidak dianggap sebagai perkara yang sama (nebis in idem) karena memiliki dalil konstitusional yang berbeda.
“Itu menguji norma—dalam hal ini Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sudah diberikan makna baru oleh MK lewat Putusan 90 Tahun 2023. Jadi bukan menguji putusannya [MK], tapi menguji norma-norma yang telah diberikan pengertian baru itu,” kata I Dewa Palguna.
Pertanyaannya kemudian: apakah jika gugatan uji materi Brahma dikabulkan, pencawapresan Gibran jadi batal?
Palguna berpendapat, hal itu tidak berpengaruh terhadap pencalonan Gibran sebagai cawapres. Pencalonan Gibran tetap dianggap legal karena berdasarkan penafsiran atas Putusan 90 yang saat itu berlaku.
Jadi, meskipun Putusan 90 nantinya ternyata hanya berlaku singkat, namun karena ia berlaku selama periode pendaftaran capres-cawapres, maka putusan itu tetap bisa digunakan.
Seandainya ada putusan baru yang menganggap Putusan 90 tersebut inkonstitusional, maka, menurut Palguna, “Ia (putusan baru) tetap berlaku ke depan atau prospektif, tidak berlaku surut atau retroaktif.”
Putusan Cacat Etik Jadi Fondasi Gibran
Konsultan politik dan founder Cyrus Network Hasan Nasbi berpendapat, putusan MKMK telah memberi hukuman keras untuk Anwar Usman. Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa Jokowi tidak intervensi.
“Anwar Usman bukan orang sembarangan. Dia paman ipar calon wakil presiden, loh. Buktinya, sekarang dihukum. Padahal katanya ada yang cawe-cawe di mana-mana,” ujar Hasan.
Namun, pengamat politik Ikrar Nusa Bakti tak setuju dengan ucapan Hasan. Ia berpendapat, pencawapresan Gibran bukan lagi cacat etika, tapi sudah cacat hukum, sebab Putusan 90 dibuat oleh orang-orang yang memiliki konflik kepentingan dalam urusan pencawapresan Gibran, termasuk Anwar Usman.
“Tidak mungkin tidak ada dialog di antara mereka (keluarga Jokowi). Itu kan adik kandung Jokowi yang menikah dengan Ketua MK,” kata Ikrar, Kamis (9/11).
Menurut pensiunan Guru Besar Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI (kini BRIN) ini, mestinya Gibran memiliki rasa malu karena maju jadi cawapres berdasarkan putusan MK yang mengandung pelanggaran etik berat dari pamannya sendiri, Anwar Usman.
“Dia menjadi cawapres akibat kongkalikong proses di MK, khususnya permainan dari sang paman yang melakukan pelanggaran berat terkait etik. Itu berarti [Gibran maju berkat] keputusan yang legitimasinya diragukan,” kata Ikrar.
Padahal, apabila nanti Gibran benar-benar terpilih menjadi wakil presiden, sambung Ikrar, ia butuh legitimasi kuat atas jabatan yang diembannya. Itu sebabnya Ikrar mendorong Gibran agar mundur dari pencalonan wapres demi kehormatan diri dan keluarganya, termasuk ayahnya yang presiden
“Ini bukan lagi soal opini publik, tapi ada proses hukum yang tidak benar di putusan MK yang memberi karpet merah kepada Gibran,” ujar Ikrar.
Gibran sendiri sejauh ini mengatakan mengikuti saja putusan MK. Sementara Jokowi berkomentar singkat: “Itu wilayah yudikatif.”
Soal putusan MKMK yang hanya mencopot Anwar Usman dari kursi ketua meski melakukan pelanggaran etika berat, mantan hakim MK Maruarar Siahaan menyebut seharusnya ada shame culture alias budaya malu di tengah masyarakat Indonesia untuk kasus-kasus pelanggaran etika terkait pejabat publik.
Menurut Palguna, etika memang lebih tinggi dari hukum, namun etika tidak seperti hukum yang memiliki daya paksa. Hukum memuat sanksi bagi orang yang melanggar, sedangkan etika lebih menekankan pada kesadaran yang datang dari panggilan hati. Berdasarkan hal ini, Palguna senada dengan Maruarar.
“Kalau dia (pelanggar etika) memegang jabatan publik, dia akan (seharusnya) mundur karena melanggar etik walaupun secara hukum belum tentu bersalah,” tutup Palguna.
Sumber: Kumparan