DEMOCRAZY.ID - Tensi antara Israel dan Iran memanas setelah serangan Israel ke Jalur Gaza dan Tepi Barat (West Bank).
Sebuah kemungkinan adanya "tindakan pencegahan" terhadap Israel dalam waktu dekat pun tengah digaungkan.
Menurut Presiden Iran Ebrahim Raisi, Israel telah "melampaui garis merah" di Gaza. Ia menyebut situasi yang ditimbulkan Israel kemungkinan memaksa semua orang untuk mengambil tindakan.
"Kejahatan rezim Zionis telah melewati garis merah, yang mungkin memaksa semua orang untuk mengambil tindakan. Washington meminta kami untuk tidak melakukan apapun, namun mereka tetap memberikan dukungan luas kepada Israel," kata Raisi.
"AS mengirimkan pesan ke Poros Perlawanan namun menerima respons yang jelas di medan perang," tambahnya, seperti dikutip CNN International.
Saat ini, kampanye militer Israel yang gencar di Gaza telah menimbulkan kekhawatiran bahwa akan ada lebih banyak front yang terbuka.
Iran bersekutu dengan Hamas dan juga Hizbullah dari Lebanon, yang terlibat dalam baku tembak dengan Israel dalam beberapa waktu terakhir.
Israel bahkan dilaporkan berada di ambang perang besar dengan Hizbullah seiring dengan memanasnya perang melawan Hamas yang telah menghancurkan sebagian wilayah Gaza.
Dilansir The Guardian, beberapa front di Israel kini makin kosong, setelah berulang kali terjadi serangan roket dan rudal serta bentrokan perbatasan dalam beberapa hari terakhir dengan faksi Hizbullah dan Palestina yang aktif di Lebanon. Suasana di seluruh Israel sedang kacau, kepercayaan terhadap tentara dan negara memudar.
Hubungan yang Kian Memburuk
Sejak didirikan pada tahun 1979, Republik Islam Iran telah mendukung kelompok Palestina dalam perjuangan mereka melawan pasukan Israel.
Pengaruh Teheran dalam konflik Palestina-Israel semakin meningkat secara signifikan, terutama dengan munculnya Hizbullah di Lebanon dan Jihad Islam Palestina (PIJ) di Jalur Gaza.
Revolusi tahun 1979 juga menandai berakhirnya hubungan dekat Iran dan Israel, mengubah mereka menjadi musuh bebuyutan, dengan ancaman perang habis-habisan.
Tak heran selama 75 tahun terakhir, hubungan antara Iran, Israel, dan Palestina mengalami fluktuasi yang dramatis, sebagaimana dilaporkan The New Arab.
Sebelum revolusi tahun 1979, ketika sebagian besar negara Arab di Timur Tengah berselisih dengan Israel dan menolak mengakui kedaulatannya, rezim diktator Shah mendukung pemukim di wilayah pendudukan Palestina.
Di bawah kepemimpinan Shah, Iran mengakui Israel sebagai negara berdaulat pada tahun 1950. Namun, hubungan bilateral kedua negara melambat pada awal tahun 1950-an.
Setelah kudeta tahun 1953 yang diatur oleh CIA dan MI6, Shah mendapatkan kembali kekuasaan dan menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat, serta teman utama Israel di wilayah tersebut.
Kerja sama ekonomi, politik, dan militer antara kedua negara berkembang seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Pada tahun 1957, Shah, yang prihatin dengan pembangkang nasionalis dan sayap kiri, mendirikan salah satu badan intelijen paling terkenal dan brutal di Timur Tengah, SAVAK, dengan bantuan dari dinas intelijen Israel Mossad.
Meskipun tingkat kolaborasi militer antara kedua negara sebelum revolusi tahun 1979 dirahasiakan, dokumen yang bocor mengungkapkan bahwa mereka sepakat untuk mengembangkan sistem rudal canggih di bawah kode Project Flower.
Kolaborasi ekonomi dan energi antara Teheran dan Tel Aviv sangat penting dalam mendukung Israel selama konflik dengan negara-negara Arab pada tahun 1967 dan 1973.
Hal ini dicapai melalui sebuah perusahaan internasional yang didirikan bersama oleh kedua negara di Panama dan Swiss, yang dikenal sebagai Trans-Asiatic Oil, dan melalui proyek-proyek rahasia seperti Pipa Minyak Eilat-Ashkelon pada saat produsen minyak Arab memberlakukan embargo terhadap Israel.
Sementara Iran dan Israel secara signifikan memperkuat hubungan mereka, gerilyawan kiri Iran, yang menentang Shah, bergabung dengan kamp gerakan Fatah di Yordania dan Lebanon, di mana mereka berperang melawan tentara Israel dan memperoleh pengalaman dalam perang gerilya untuk akhirnya kembali ke Iran.
Ayatollah Rouhollah Khomeini, tokoh politik Iran lainnya, juga mengkritik Israel. Setelah Perang Enam Hari, ayatollah garis keras Iran mengeluarkan Fatwa yang menyatakan kepada para pengikutnya bahwa menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan Israel dan mengonsumsi produk-produk Israel dianggap "haram". [Democrazy/CNBC]