DEMOCRAZY.ID - Konsep pembangunan infrastruktur era Presiden Joko Widodo dinilai tidak selaras dengan indeks pembangunan manusia.
Hal tersebut ditekankan Calon Presiden Koalisi Perubahan, Anies Baswedan saat berpidato dalam pembukaan Ijtima Ulama, di Masjid Az-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/11).
"Hari ini ketidakadilan adalah potret Indonesia. Contoh kondisi hari ini, indeks pembangunan di Jawa dan Sumatera warnanya putih, sisanya Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua warnanya kuning," singgung Anies dalam pidatonya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memaparkan, indeks pembangunan manusia di luar Jawa dan Sumatera membutuhkan waktu dua kali periode presiden untuk bisa meningkat.
"Coba lihat, indeks pembangunan manusia di Jawa dan Sumatera tahun 2013 adalah 69. Mari kita lihat paling kanan bawah, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua tahun 2023 indeksnya 69," urai Anies.
"Artinya apa? Mereka tertinggal 10 tahun dari Jawa dan Sumatera. Jedanya, selisihnya 10 tahun," sambungnya.
Karena itu, Anies menekankan pentingnya peningkatan indeks pembangunan manusia yang merata, tidak bersifat sektoral di beberapa daerah saja, dan bukan hanya sekadar pembangunan infrastruktur.
Sebab menurutnya, konsep yang terpenting adalah membangun manusia, bukan membangun jalanan atau infrastruktur lain.
"Ujungnya adalah membangun manusia yang akhlakul karimah, manusia yang kompeten, yang bisa mencukupkan diri di masa mendatang. Jadi dengan ketimpangan ini, kami akan mengubah, meluruskan paradigma pembangunan ini," tutup Anies.
Kritik Anies ke Jokowi: Subsidi Salah Sasaran, Utang Segunung
Calon Presiden Republik Indonesia, Anies Baswedan mengkritik beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Antara lain subsidi yang tidak tepat sasaran dan utang yang menggunung.
Subsidi yang dimaksud Jokowi adalah bahan bakar minyak (BBM), listrik dan bantuan sosial (bansos).
"Ketidaktepatan sasaran subsidi, apa pun itu, dari mulai listrik sampai bantuan sosial," kata Anies dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang diselenggarakan oleh INDEF dan CNBC Indonesia, Rabu (8/11/2023)
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir September realisasi belanja subsidi mencapai Rp156,96 triliun, atau 52,58% dari pagu dan turun sebesar 6,12% (yoy).
Realisasi tersebut terdiri atas subsidi energi sebesar Rp103,06 triliun, mencakup subsidi BBM, subsidi LPG Tabung 3 Kg, dan Subsidi Listrik.
Kemudian subsidi non-energi sebesar Rp53,90 triliun, mencakup Subsidi Pupuk, Subsidi Bunga Kredit Program, Subsidi PSO, dan Subsidi Pajak DTP.
Realisasi pembayaran Subsidi Energi tersebut untuk penyaluran BBM bersubsidi sebesar 11.799,20 ribu KL, LPG Tabung 3 Kg sebesar 5,38 juta MT, pelanggan listrik bersubsidi sejumlah 39,45 juta pelanggan, dan volume konsumsi listrik bersubsidi sebesar 43,61 TWh.
Selanjutnya, realisasi Subsidi non-Energi meliputi antara lain penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 4,68 juta ton, Subsidi Bunga KUR diberikan kepada 3,19 juta debitur dengan total penyaluran KUR mencapai Rp175,74 triliun, dan Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan untuk 151,25 ribu unit rumah.
Khusus untuk subsidi BBM, kelompok ini dianggap tidak tepat menerima karena pengguna kendaraan adalah kelas menengah atas.
Sementara itu realisasi bantuan sosial mencapai Rp 104,59 triliun. Persoalan bansos masih berkutat pada data yang belum dibenahi dengan benar.
Menurut Anies, hal ini yang mendorong APBN menjadi terbatas. Ditambah penerimaan negara yang belum optimal membuat opsi utang terus menjadi pilihan pemerintah.
Sampai dengan akhir September 2023, posisi utang Pemerintah berada di angka Rp7.891,61 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,95 persen.
"Kami lihat problemnya bukan pada nominalnya, tapi persentasenya. Dan itu artinya kalau kita bicara tentang utang, maka rasio utang publik kepada PDB kita yang sekarang 39% didorong maksimal 30% dengan cara PDB digedein," tegas Anies. [Democrazy/rmol]