DEMOCRAZY.ID - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat dan perilaku hakim konstitusi dalam penanganan perkara 90 soal pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Anwar pun dijatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Ia tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Ia juga dilarang terlibat dalam urusan sengketa hasil pemilu dan pilkada yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Lewat putusan perkara, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang belum memenuhi syarat usia minimal menurut UU Pemilu bisa melenggang di Pilpres 2024.
Mahkamah membolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun jadi capres-cawapres, selama pernah menjabat sebagai kepala daerah yang terpilih lewat pemilu.
Anwar dinilai terlibat benturan kepentingan dalam memutus perkara 90 itu. Sebab, Anwar merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah menikahi Idayati pada Mei 2022. Dengan demikian, ia juga menjadi paman dari Gibran.
Kini, Gibran jadi bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Ia sudah resmi didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pakar hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman menilai sanksi yang dijatuhkan MKMK kepada Anwar tak tepat dan tak tegas. Menurut dia, sanksi tersebut tak sesuai dengan aturan dasar MKMK.
Ia menjelaskan berdasarkan pada peraturan MK Nomor 1 Pasal 41 tahun 2023 tentang MKMK hanya terdapat satu jenis sanksi pelanggaran yang diberikan kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik berat, yaitu pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau pemecatan.
Herlambang pun berharap Anwar sadar diri dan memutuskan untuk mundur sebagai hakim konstitusi. Ia berpendapat publik pun bakal meragukan integritas MK jika Anwar masih meneruskan jabatan sebagai hakim konstitusi.
"Adanya putusan MKMK yang membuktikan pelanggaran berat itu sudah sepatutnya Anwar Usman mundur dari hakim MK, malu atas pelanggaran berat yang dilakukannya," kata Herlambang saat dihubungi, Rabu (8/11).
"Etika itu menyasar ke profesi, sebagai hakim. Bukan ke jabatan. Bila tidak mundur, publik akan selalu ragukan kepercayaan pada MK," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Herlambang, putusan MKMK ini juga berdampak pada Gibran yang kini jadi bakal cawapres Prabowo. Ia mengatakan sebaiknya Gibran mundur dari pencalonan karena putusan perkara 90 terbukti mengandung unsur benturan kepentingan.
"Bahwa dia bisa naik kekuasaan sebagai cawapres dengan segera karena pamannya yang terlibat konflik kepentingan, termasuk dalam memutus di MK," ucapnya.
Ia menilai putusan mahkamah pada perkara 90 itu tak punya legitimasi yang utuh dan etis. Menurut Herlambang, penerimaan publik terhadap Gibran pun bisa menurun.
"Legitimasinya menjadi rendah sekalipun tetap legal atau secara hukum bisa terus jalan," katanya.
Putusan bisa diuji lagi
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Idul Rishan menilai putusan MKMK menjadi bukti bahwa adanya pelanggaran etik pada putusan mahkamah dalam perkara 90.
Menurutnya, partai politik pengusung Prabowo-Gibran mestinya harus memikirkan ulang untuk tetap mengusung pasangan itu di Pilpres 2024.
"Putusan MKMK telah menjustifikasi ada pelanggaran etik pada putusan MK, sehingga partai politik sebenarnya bisa mempertimbangkan ulang pencalonan Gibran sebagai cawapres karena bisa jadi blunder bagi Prabowo sendiri," ujar Idul saat dihubungi.
Idul pun menuturkan putusan MKMK ini bak skandal yang akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap aturan Pemilu 2024. Sebab, MK yang mestinya jadi penjaga konstitusi pun bisa 'dirusak'.
"Skandal ini berdampak besar terhadap kepercayaan publik terhadap aturan main pemilu. Logikanya, lembaga sekelas MK saja independensinya bisa dirusak apalagi lembaga-lembaga lain," tuturnya.
Ia mengatakan MKMK memang tidak berwenang membatalkan putusan perkara 90. Namun, kata Idul, dengan adanya sanksi dari MKMK kepada hakim konstitusi, publik bisa mengajukan gugatan baru terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
"Jalan satu-satunya ialah memohonkan MK untuk mengeluarkan putusan provisi atau pengujian ulang norma yang sama," tandasnya.
Selain putusan terhadap Anwar, MKMK juga menyatakan semua hakim konstitusi melanggar kode etik karena membiarkan kebocoran informasi mengenai rapat permusyawaratan hakim (RPH). Mereka dijatuhi sanksi teguran lisan secara kolektif.
Sementara iu, hakim konstitusi Arief Hidayat menerima sanksi tambahan berupa teguran tertulis akibat pendapatnya di ruang publik.
Sumber: CNN