POLITIK

Tersandera Permainan Politik Muluskan Gibran Ikut Pilpres, Jokowi Bisa Dipaksa Turun Tahta!

DEMOCRAZY.ID
Oktober 17, 2023
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Tersandera Permainan Politik Muluskan Gibran Ikut Pilpres, Jokowi Bisa Dipaksa Turun Tahta!



DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo dianggap tersandera permainan politiknya sendiri, karena memuluskan jalan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka ikut pemilihan presiden (Pilpres) 2024 lewat Mahkamah Konstitusi (MK).


Pengamat politik Citra Institute Efriza berpendapat, publik telah menstempel Jokowi telah mempolitisasi MK karena mengabulkan perubahan norma syarat batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) di UU 7/2017 tetang Pemilu.


"Jadi, saat ini Jokowi sedang tersandera oleh permainan politiknya sendiri. Ia bisa memancing masyarakat memberikan input tuntutan terhadap pemerintahannya," ujar Efriza, Selasa (17/10).


Pengajar Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pamulang (FISIP UNPAM) itu bahkan memprediksi aksi protes akan dilakukan masyarakat karena Jokowi dianggap telah memanfaatkan kekuasaannya untuk tetap memegang kendali kuasa pasca Pilpres 2024.


"Kemungkinan 'chaos politik' dari kekecewaan masyarakat akibat reformasi dimundurkan oleh penguasa politik yang dihasilkan oleh reformasi dengan cara demokratis," tuturnya.


Maka dari itu, Efriza meyakini Jokowi membaca potensi kekisruhan pasca putusan MK yang membuka peluang bagi Gibran mengikuti Pilpres, dan berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai capres.


"Diyakini, Jokowi akan mencoba mencari jalan keluar yang soft, mulus," demikian Efriza. 


MK Ubah Syarat Usia Capres-Cawapres, KIPP: Potensi Merusak Pemilu dan Demokrasi!


Pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi berpotensi dirusak Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengubah syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) melalui uji materiil norma di UU 7/2017 tentang Pemilu.


"Menurunkan batas minimum usia capres dan cawapres, di tengah berjalannya tahapan pemilu akan menimbulkan ketidakpastian hukum, dan potensial merusak pemilu dan demokrasi," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, Selasa (17/10).


Dia menjelaskan, MK mengubah bunyi norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yakni dengan menambahkan frasa pengecualian bagi kepala daerah berumur di bawah 40 tahun yang masih atau pernah menjabat bisa maju pada pilpres.


Menurut Kaka, dari pihak yang memohonkan dengan isi pokok permohonan dalam perkara yang diregistrasi dengan nomor 90/PUU-XXI/2023, jelas MK telah ikut dalam arus politik praktis.


Karena, pemohon perkara tersebut merupakan pengagum Gibran yang masih menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Surakarta (UNS). Bahkan, dalam dokumen pokok permohonannya menjadikan Gibran sebagai contoh pihak yang dirugikan.


Terlebih, dia melihat Ketua MK, Anwar Usman, juga memiliki hubungan kekeluargaan baik dengan Gibran sebagai keponakan, maupun dengan Presiden Jokowi sebagai kakak ipar.


"Bernuansa konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman, karena saat memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tadi sudah beredar bahwa perubahan syarat ini potensial digunakan oleh anak presiden Joko Widodo, yang tidak lain adalah keponakan Ketua MK, Anwar Usman sendiri," demikian Kaka. 


Pakar: Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres Cacat Hukum dan Bahaya untuk Pilpres 2024!


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas minimum usia capres-cawapres dinilai cacat hukum. Jika amar putusan tersebut dijalankan justru berpotensi menimbulkan masalah pada Pilpres 2024.


Demikian disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, dalam webinar Pengurus Pusat APHTN-HAN bertajuk “Implikasi Putusan MK Syarat Capres & Cawapres Bagi Tegaknya Demokrasi Konstitusional”, Selasa (17/10).


“Ini sudah cacat bawaan, untuk pilpres kita ini berbahaya. Kalau tetap dilanjutkan yang kayak begini, berbahaya, karena landasan hukum untuk keabsahan persyaratan itu tidak kuat. Secara hukum salah, dan kita harus berani untuk mengambil sikap ke sana,” tegas Fahmi.


Fahmi mengurai, masalahnya terdapat pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai tidak memenuhi syarat suara terbanyak untuk ditetapkan sebagai putusan MK karena hanya didukung 3 hakim.


Kata Fahmi, hal ini melanggar Pasal 45 Undang-undang MK, yang mensyaratkan sebuah perkara harus diputus dengan suara mayoritas.


“Kalau belum mayoritas maka belum bisa diputus. Lalu putusan bersifat final mengikat memang melekat pada putusan MK, namun putusan ini tidak dapat dilaksanakan. Dalam pemahaman saya ini masuk kategori putusan yang tidak dapat dilaksanakan,” bebernya.


Atas dasar itu, Fahmi menyarankan sebaiknya putusan MK tersebut tidak langsung dilaksanakan. Menurutnya, jika pemerintah tetap ingin mengubah syarat itu sedianya dibawa ke DPR untuk dilakukan perubahan UU Pemilu.


“Biar DPR yang memasukkan klausul yang hari ini ada di amar putusan (MK), dengan mempertemukan berbagai pendapat hukum dari hakim yang memutus perkara ini,” jelasnya.


“Kalau hanya bersandar pada keputusan MK yang seperti ini, akan menimbulkan dampak yang cukup luas nanti di hasil pemilu presiden kita,” demikian Fahmi. [Democrazy/RMOL]

Penulis blog