HUKUM POLITIK

Simak! PBHI Beberkan '4 Kejanggalan' Dalam Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

DEMOCRAZY.ID
Oktober 17, 2023
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Simak! PBHI Beberkan '4 Kejanggalan' Dalam Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres



DEMOCRAZY.ID - Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengklaim ada sejumlah kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (putusan MK) soal batas usia dan persyaratan kepala daerah untuk capres-cawapres. 


Seperti diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan syarat capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.


Kejanggalan pertama, kata Julius, permohonan seharusnya ditolak sejak awal karena pemohon tidak memenuhi kriteria dasar yang rasional dan relevan dalam permohonannya. 


"(Pemohon) tidak punya kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai capres-cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold," kata Julius lewat keterangan tertulis, Senin, 16 Oktober 2023. 


"Bukan juga kepala daerah atau berpengalaman."


Adapun gugatan yang dikabulkan MK merupakan gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan mahasiwa  Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru. 


Dalam gugatannya, Almas meminta agar Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan menambahkan frasa "Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota". 


Alasan Almas mengubah frasa tersebut, yakni karena ia merupakan pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.  


Kejanggalan kedua, menurut Julius, MK bersikap inkonsisten. Sebab, 6 permohonan lain ditolak dan tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman. 


"Namun tiba-tiba dalam perkara nomor 90, Anwar Usman terlibat lalu memutar balik putusan MK," ujar Julius.


Kejanggalan ketiga, kata Julius, petitum pemohon perkara nomor 90 tidak relevan antara frasa 'usia 40 tahun' dan 'berpengalaman sebagai kepala daerah' yang harus dimaknai sebagai penambahan frasa. 


"Seharusnya open legal policy, bukan pemaknaan frasa," kata dia.


Sedangkan kejanggalan keempat, menurut Julius, tidak ada frasa 'atau pernah, sedang' dalam petitum yang diajukan pemohon. 


"Artinya, hakim konstitusi menambahkan sendiri permohonan dan bertindak seperti pemohon," ujar Julius.


Adapun sebelumnya, MK telah menolak gugatan dengan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang pada intinya meminta MK melakukan uji materi terhadap UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.  


Para penggugat yang mewakili Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan perwakilan tiga kepala daerah itu meminta Pasal 169 huruf q UU tersebut yang mengatur tentang batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun diubah menjadi minimal 35 tahun dan memiliki pengalaman menjadi penyelenggara negara. [Democrazy/Tempo]

Penulis blog