HUKUM

Selain Batas Usia Capres-Cawapres, Ini 4 Putusan MK Lain Yang Kontroversial!

DEMOCRAZY.ID
Oktober 26, 2023
0 Komentar
Beranda
HUKUM
Selain Batas Usia Capres-Cawapres, Ini 4 Putusan MK Lain Yang Kontroversial!


DEMOCRAZY.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan ini menjadi sorotan setelah mengabulkan gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. 


Putusan yang membuat anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakaningbumi Raka, bisa maju jadi cawapres itu dinilai kontroversial. Sebab Ketua MK Anwar Usman merupakan paman dari Gibran.


Putusan terhadap gugatan batas usia capres-cawapres adalah satu dari beberapa putusan kontroversial yang pernah dikeluarkan MK. 


Dari catatan Tempo, setidaknya ada empat putusan kontroversial lain yang pernah dibuat MK, yakni batas usia perkawinan, larangan nikah beda agama, masa jabatan pimpinan KPK, dan dibolehkannya kampanye di lingkungan pendidikan.


1. Batas Usia Pernikahan


MK pernah memutuskan putusan terkait pembatasan usia minimal perempuan untuk menikah dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Putusan tersebut banyak yang menggugat. 


Empat tahun berselang, MK kemudian mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan dalam UU tersebut menimbulkan diskriminasi.


Selain itu, UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak mengatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. 


"Perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak adalah perkawinan anak," kata Hakim MK I Gede Dewa Palguna.


2. Melarang Nikah Beda Agama


MK menolak permohonan uji materi terhadap UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada 31 Januari 2023. 


Dilansir dari Koran Tempo edisi Jumat, 3 Februari 2023, MK menolak karena perkawinan harus dilakukan menurut agama dan keyakinan untuk bisa dicatat di kantor pencatatan sipil.


Menurut advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sri Agustini, aturan tersebut memang layak digugat. 


“Perkawinan Indonesia tidak mengatur secara khusus pernikahan beda agama,” katanya. 


Agustini mengatakan bahwa UU Perkawinan tidak lagi relevan dengan dinamika masyarakat saat ini. 


“Buktinya adalah bahwa permohonan untuk melegalkan pernikahan beda agama terus berdatangan di tingkat pengadilan negeri,” katanya.


3. Masa Jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Pada 25 Mei 2023, MK yang memperpanjang masa jabatan KPK menjadi lima tahun menimbulkan polemik. 


Dilansir dari Koran Tempo edisi Jumat, 26 Mei 2023, MK beralasan bahwa perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun diskriminatif dibandingkan periode jabatan di sejumlah lembaga negara.


Kendati demikian, dalam putusannya empat dari sembilan hakim memiliki pendapat berbeda. Mereka adalah hakim konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. 


Suhartoyo mewakili tiga hakim konstitusi lainnya menolak karena seharusnya masa jabatan pimpinan lembaga negara dikaitkan dengan desain kelembagaan bukan semata perlakuan tidak adil. 


“Untuk itu seharusnya Mahkamah menolak permohonan pemohon,” ujar Suhartoyo.


Senada dengan tiga hakim tersebut, guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengungkapkan bahwa masa jabatan tidak relevan dengan independensi KPK. 


“Apakah pimpinan sebelumnya yang menjabat hanya empat tahun tidak menunjukan independensi dan integritas mereka?” kata Susi.


4. Kampanye Boleh Dilakukan di Lingkungan Pendidikan


MK memperbolehkan kampanye pemilu di fasilitas pendidikan melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023. Izin diberikan sepanjang mendapatkan izin dan tidak menggunakan atribut kampanye.


Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menyayangkan putusan MK tersebut. 


Menurut dia, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintahan merupakan ruang netral untuk kepentingan publik bukan untuk kampanye.


“Padahal selama ini, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah menjadi ruang netral untuk kepentingan publik, sehingga dilarang menggunakan fasilitas pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilihan umum (Pemilu)," kata Retno.


Sumber: Tempo

Penulis blog