DEMOCRAZY.ID - Soekarno yang berencana menculik para jenderal tampil di istana agar tetap setia kepada presiden. Soekarno tidak pernah memerintahkan para jenderal untuk dibunuh.
“Bahwa rencana penculikan penculikan berasal dari Bung Karno. Kami mahasiswa terutama UI tahun 1966 justru melihat juru selamat itu Pak Harto, Sarwo Edhi, Darsono dan jenderal–jenderal itu,” kata Guru Besar Universitas Pertahanan Prof Salim Said dalam video yang beredar di media sosial.
Kata Salim Said, menjelang kejatuhan Soekarno, Soeharto dan Angkatan Darat lebih menentukan karena proklamator itu tidak mempunyai organize political party.
“Itu sebabnya, Soekarno memakai PKI untuk mengimbangi Angkatan Darat. PNI sejarahnya dekat soekarno dikacaukan, dipecah ada marhaen gadungan.
Akhirnya Soekarno tergantung PKI dalam menjalankan balance of power dengan Angkatan Darat. Ketika keseimbangan jomplang. Soekarno tidak bisa menguasai keadaan,” paparnya.
Selain itu, Salim Said mengatakan, Soekarno sebagai Presiden dan menjalankan fungsi eksekutif sejak ada Dekret 1959 yang didukung Angkatan Darat.
“Saya pernah bilang ke Pak LB Moerdani di tengah wawancara, Bung Karno itu berkuasa hanya enam tahun, proklamasi kemerdekaan, kabinet, presidential, keadaan berubah ke sistem parlementer, Syahrir menjadi PM sejak itu Bung Karno hanya lambang, tidak betul Soekarno berkuasa sejak 1945 itu tidak betul. Soekarno menjadi presiden 1959 atas dukungan Angkatan Darat sampai 1968,” pungkasnya.
Salim Said: Jangan Terlalu Dewakan Bung Karno!
Pengamat militer Salim Said meminta masyarakat untuk tidak terlalu mendewakan Soekarno sebagai sosok yang paling berjasa bagi Indonesia.
Sebagai seorang presiden, Soekarno memiliki kekurangan dalam memimpin bangsa Indonesia.
"Soekarno memang was a great man, tapi jangan terlalu mendewakan Bung Karno, orang-orang harus tahu mana saja jasa-jasa bung karno," ujar Salim dalam suatu diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (6/6).
Salim menuturkan bahwa sebagai pemimpin, Bung Karno memang memenuhi persyaratan untuk menciptakan dan membangun Indonesia menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Namun, Bung Karno dianggap juga memiliki kekurangan dalam mengelola Indonesia sehingga menimbulkan krisis-krisis kepemerintahan yang berdampak pada lahirnya peristiwa-peristiwa penting di Indonesia.
"Soekarno hidup dalam rentetan waktu, benar jika dianggap sebagai bapak bangsa, tapi Soekarno adalah seorang aktivis yang membangun Indonesia, sehingga pada sistem politik parlementer dirinya ikut campur tangan," ujar Salim menjelaskan.
Lebih lanjut, Salim menilai intervensi politik Bung Karno pada sistem parlementer Indonesia kala itu menciptakan peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu).
Ia menganggap karena krisis politik tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan celah dari konflik antara parlemen dengan pemerintah dahulu.
Salim mengatakan bertepatan pada hari kelahiran Bung Karno pada yang jatuh pada 6 Juni, ia meminta masyarakat Indonesia untuk memilah kembali informasi sejarah tentang Bung Karno dengan baik, agar nantinya pendewaan terhadap sosok presiden pertama Indonesia tidak terjadi lebih lanjut.
Prof Salim Said Bandingkan Kepemimpinan Soeharto, Soekarno dan Jokowi
Soeharto dinilai sebagai satu-satunya presiden di Indonesia yang punya kekuasaan penuh dibandingkan pemimpin pendahulu dan sesudahnya. Hal ini tergambar dari besarnya pengaruh presiden ke-2 RI tersebut selama memerintah.
"Di zaman Orde Baru itu ada satu orang berkuasa. Dia bisa berkuasa karena didukung oleh partai terkuat di Indonesia namanya ABRI, bukan Golkar," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Prof Salim Said dalam kanal Hersubeno Point di YouTube.
Dia menyebutkan, Soeharto bisa berkuasa penuh karena dukungan ABRI. Golkar hanya menduduki kursi-kursi di DPR dan MPR untuk memberi legalitas kepada pemerintahan orde baru.
"Jadi Golkar jangan macam-macam karena yang berkuasa dulu yang mendukung penguasa dan jadi pegangan Soeharto adalah ABRI, bukan Golkar," tegas Salim.
"Golkar itu tugasnya hanya menduduki kursi-kursi di DPR MPR untuk memberi legalitas kepada Pak Harto supaya dunia internasional bisa bilang Indonesia negara demokrasi. Namun fakta sebenarnya tidak," sambungnya.
Meski begitu, menurut Salim, pada 10 tahun pertama Soeharto memerintah tidak ada ribut-ribut. Sebab, ada kepastian dan ada hasil dari pembangunan ekonomi Soeharto.
Karena terlalu lama berkuasa, Soeharto kemudian membangun dinasti politik. Itu tidak dilakukan Presiden Soekarno karena sampai dia turun jabatan, anak-anaknya belum ada yang menduduki popularitas kedudukan yang bisa diterima kalau dicalonkan.
"Nah, sekarang Jokowi jadi presiden ketika anak-anaknya sudah besar dan punya menantu. Jadi dia tidak perlu menunggu lama untuk membangun dinasti," ucapnya.
Masalahnya, kata Salim, Jokowi tidak punya partai. Presiden ke-7 RI tersebut sekarang menghadapi tahun-tahun terakhir meninggalkan istana.
"Nah, siapa yang akan bela Jokowi, karena pasti akan banyak tuntutan publik. Barangkali perhitungan Jokowi kalau keluarganya mempunyai kedudukan-kedudukan penting dalam politik itu akan lebih menolong. Namun, itu cuma spekulasi saya saja," paparnya.
Salim menilai, Jokowi memberikan kesempatan kepada anak serta menantunya untuk bertarung dalam pilkada bisa terjadi karena di antara orang-orang yang berkuasa di Indonesia ini sedikit sekali yang punya akal sehat.
"Kenapa? Karena sebenarnya tidak ada orang yang berkuasa di Indonesia sekarang seperti Pak Harto dulu. Jokowi harus berkompromi dengan banyak oligarki dengan Megawati, Luhut Panjaitan, Surya Paloh dan bahkan polisi sudah jadi oligarki. Kekuatan polisi bisa mengkriminalkan orang," bebernya.
[Democrazy/HajiNews]