DEMOCRAZY.ID - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, ikut dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai cawapres masih terus menjadi sorotan.
Pihak lainnya pun dituding berperan dalam 'suksesi' atau mulusnya Gibran jadi cawapres Prabowo ini.
Ketua Umum Nasional Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna menilai, keputusun MK tersebut seakan-akan memberikan karpet merah terhadap putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
"Keputusan MK Nomor 90 ini memberikan karpet merah kepada anak Presiden Jokowi untuk melenggang menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi bakal calon presiden Prabowo Subianto," kata Hanifa di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
NCW mengaku mendapat informasi jika para pembantu Presiden, juga diduga terlibat dalam proses suksesi Gibran sebagai bacawapres.
Perannya, meminta partai politik segera mendeklarasikan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Lalu, meminta lebih dari tiga lembaga untuk menyurvei elektabilitas Gibran, menginstruksikan salah seorang menteri memantau sentimen terhadap Gibran, dan meminta kelompok relawannya mendukung Gibran
"Juga mendorong partai-partai lain agar ikut mengajukan Gibran, dan meminta timnya Jokowi menyusun pidato Gibran dalam deklarasi," tutur Hanif, sapaan Hanifa Sutrisna.
Pembantu Presiden, lanjut Hanif, diduga juga terlibat dalam diraihnya jabatan ketua umum partai politik oleh putra Jokowi lainnya, Kaesang Pangarep.
"NCW meyakini dugaan ini nyata adanya karena Kaesang tidak memiliki pengalaman dalam organisasi politik, dan sejauh ini hanya memiliki kekuatan 'relasi kuasa'," kata Hanif.
Menjadi wajar, tambahnya, apabila nantinya banyak pihak khawatir akan terjadinya kecurangan dalam pemilu.
Jika pemilu tak jujur, lanjut Hanif, hal itu berpotensi melahirkan pemerintahan yang korup.
"Ini sama saja telah merusak nilai-nilai demokrasi, menghilangkan tujuan mulia reformasi yang menolak tirani seperti rezim Orde Baru," tandasnya.
NCW: Opera Oligarki Gibran Maju Cawapres 2024, MK Makin Ugal-Ugalan!
DEMOCRAZY.ID - Majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 disoroti National Corruption Watch (NCW).
Ketua Umum DPP NCW, Hanifa Sutrisna mengatakan ada kebobrokan napsu syahwat oligarki di lingkungan Istana Negara atas dugaan pengaturan keputusan di Mahkamah Konstitusi.
“Hari ini kita kembali dipertontonkan opera oligarki di dunia perpolitikan Indonesia. Kami DPP NCW melihat MK makin ugal-ugalan, keluar dari esensinya yang semestinya menjalankan check and balances pada kekuasaan pembuat undang-undang (eksekutif dan legislatif),” katanya kepada awak media.
Diungkapkannya, kekhawatiran dugaan ketidaknetralan dari Ketua MK membuat publik meragukan lembaga penegakan hukum konstitusi ini tidak dapat dipercaya jika terjadi perselisihan pada Pilpres dan Pileg 2024.
“Jika lembaga sebesar MK bisa dikooptasi dan dikonsolidasikan oleh oknum penguasa, ke mana lagi rakyat akan mengadu jika hak konstitusi mereka diganggu oleh undang-undang dan peraturan yang dibuat penguasa,” ungkapnya.
Menurutnya, Gibran memperlihatkan betapa kecilnya nilai perjuangan, pengalaman dan jabatan para Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Segitu hebatnya politik dinasti sehingga cukup dengan seorang Gibran, seolah-olah semua masalah bisa diselesaikan dengan kekuasaan dan nepotisme, karena ada hubungan kuasa relasi dengan Presiden Jokowi,” sebutnya.
Pihaknya juga menyoroti Kesang Pangarep yang dilantik menjadi Ketua Umum Partai Soliaritas Indonesia (PSI).
“Kami duga keras ini adalah bentuk gratifikasi berupa previlege (kemudahan) karena ada kuasa relasi sebagai anak Presiden Jokowi. Apa iya seperti ini demokrasi dan sukses dalam perpolitikan yang sehat yang dibangun pasca reformasi di Indonesia,” tuturnya.
“Ke mana hati nurani dan suara para tokoh-tokoh bangsa, para aktivis dan mahasiswa saat ini, kebobrokan nafsu syahwat rezim penguasa saat ini dipertontonkan dengan pembiaran KKN di mana-mana, kenapa tidak ada aksi dan perlawanan yang berarti? Masalah bangsa ini tidak akan selesai hanya dengan berbisik-bisik di kedai kopi dan diskusi di TV tanpa ada eksekusi,” tambahnya. [Democrazy/PojokSatu]