DEMOCRAZY.ID - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc memandang perlunya edukasi tentang pelurusan sejarah perjuangan bangsa.
Hal tersebut sebagai bentuk respon adanya upaya menyimpangkan sejarah seputar pemberontakan G30S PKI.
Penyimpangan dimaksud yaitu munculnya anggapan bahwa kelompok komunis sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Ini karena salah mentafsirkan dan menurut saya ada kesengajaan supaya yang namanya komunis ini dianggap sebagai korban,” ujar Kiai Didin dalam kajian Ahad pagi (1/10/2023) di Masjid Al Hijri II Kota Bogor.
Padahal, kata Kiai Didin, yang melakukan kejahatan dan pemberontakan adalah PKI (partai komunis Indonesia).
“Sebenarnya yang zalim itu mereka (PKI) bukan yang melawan. Para kiai, tokoh dan umat ketika itu bersatu padu melawan kezaliman dari PKI,” jelas Kiai Didin.
Jadi ketika terjadinya pemberontakan, lanjut dia, para kiai, tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah dan lainnya itu mempertahankan diri melawan kezaliman PKI.
“Oleh karena itu, sejarah harus diluruskan kembali, jangan sampai diputarbalikkan,” kata Kiai Didin.
Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) itu mengusulkan agar perlunya penambahan kurikulum sejarah perjuangan umat Islam Indonesia.
“Saat acara Multaqo para Alim Ulama kemarin di Solo, saya minta kepada para pimpinan pondok pesantren agar bekerjasama membuat kurikulum yang baru, yaitu sejarah perjuangan umat Islam Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Kiai Didin, penambahan kurikulum tersebut penting agar jangan sampai umat Islam khususnya generasi muda tidak tahu sejarah perjuangan bangsa.
“Banyak anak-anak muda sekarang yang tidak kenal dengan tokoh-tokoh bangsanya, mereka tidak kenal KH Hasyim Asy’ari misalnya, padahal beliau itu adalah seorang pejuang yang luar biasa. Mereka juga tidak kenal dengan Pak Natsir misalnya, beliau adalah tokoh peletak dari NKRI, demikian pula tokoh-tokoh yang lain banyak generasi muda tidak kenal. Jadi pehamanan sejarah ini yang harus ditumbuhkan kembali,” tandasnya.
Seperti diketahui, persoalan sejarah kelam bangsa ini baru-baru ini marak diperbincangkan kembali setelah munculnya Keppres yang digugat oleh anak-anak dari Pahlawan Revolusi Jenderal Anumerta Ahmad Yani.
Tiga anak Jenderal Ahmad Yani yakni Untung Mufreni A. Yani, Irawan Suraeddy A Yani dan Amelia A Yani mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) pada 14 Juli 2023 lalu.
Gugatan diajukan para anak Pahlawan Revolusi karena mereka menilai Inpres Nomor 2 tahun 2023, Keppres Nomor 17 tahun 2022 dan Keppres Nomor 4 tahun 2023 Presiden Joko Widodo sangat tidak adil terhadap keluarganya sebagai Jenderal Pahlawan Revolusi.
Satu Inpres dan Dua Keppres itu dinilainya tidak adil karena pemerintah merasa mengakui kesalahan terhadap PKI dan menempatkan anak PKI menjadi korban yang akan mendapat ganti rugi.
Sebaliknya, di dalam Inpres dan Keppres itu juga tidak ada anak-anak pahlawan revolusi yang ditempatkan jadi korban serta tidak ada santunan atau ganti rugi.
Dalam Judicial review yang diajukan, anak Jenderal Ahmad Yani minta Keppres Permintaan Maaf ke PKI Dicabut. [Democrazy/SI]