DEMOCRAZY.ID - Setelah pengunduran diri Gus Dur, pada tahun 2021 Megawati Soekarnoputri kemudian dilantik menjadi presiden menggantikannya.
Selama masa jabatannya, Megawati mengambil serangkaian kebijakan dan keputusan.
Beberapa kebijakan tersebut bahkan menimbulkan pro dan kontra yang kontroversial di kalangan masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa kebijakan kontroversial Megawati di era pemerintahannya.
1. Penjualan Gas Blok Tangguh ke China
Salah satu kebijakan kontroversial Megawati adalah penjualan Gas Blok Tangguh Papua ke China dengan harga yang dianggap sangat rendah.
Pada tahun 2002, Indonesia menjual gas bumi dalam bentuk Liquefied Natural Gas melalui kontrak jangka panjang selama 25 tahun kepada Fujian, China.
Kontrak ini kemudian menjadi perdebatan karena harga gas yang dijual dianggap sangat murah yaitu hanya 2,4 dolar AS per MMBtu dengan batasan kenaikan harga maksimal sebesar 3,35 dolar AS per MMBtu seiring dengan kenaikan harga minyak bumi.
Namun, dalam pidato ilmiah saat menerima gelar doktor honoris causa di Universitas Padjadjaran pada tahun 2016, Megawati memberikan penjelasan mengenai kebijakan tersebut.
Menurutnya, pemerintah menjual LNG dari Blok Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat ke China karena alasan bahwa tidak ada satu negara pun yang bersedia membeli gas tersebut.
2. Kenalkan Sistem Outsourcing
Salah satu kebijakan lain yang menuai kontroversi adalah pengenalan sistem kerja alih daya atau outsourcing.
Megawati dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan ini. Kebijakan ini diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disahkan pada masa kepemimpinannya.
Undang-undang tersebut sebenarnya telah mengatur secara rinci keberadaan perusahaan penyedia tenaga kerja.
Perusahaan penyedia tenaga kerja yang berbentuk badan hukum diwajibkan untuk memenuhi hak-hak pekerja.
Selain itu, di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.
Namun, sistem ini banyak mendapat protes dari buruh karena dianggap tidak menjanjikan kepastian kesejahteraan buruh.
Salah satu aspek yang paling dikritik adalah kemungkinan buruh kehilangan tunjangan pekerjaan yang biasa didapatkan oleh karyawan tetap, serta ketidakpastian waktu kerja karena tergantung pada kesepakatan kontrak.
Seiring dengan maraknya praktik outsourcing, Hari Buruh yang dirayakan setiap tanggal 1 Mei sering kali mengajukan permintaan penghapusan sistem outsourcing sebagai salah satu tuntutan utama.
3. Privatisasi BUMN
Dalam berbagai kebijakannya, privatisasi BUMN dapat dikatakan sebagai salah satu yang paling kontroversial.
Seperti yang dikutip dalam buku "Problem Demokrasi dan Good Governance di Era Reformasi" (2013), privatisasi tersebut dilakukan dengan alasan untuk membayar utang negara yang diwarisi kepada Megawati.
Pada saat itu, Megawati dihadapkan dengan utang negara yang meningkat akibat krisis moneter pada tahun 1998/1999.
Penjualan belasan BUMN dengan nilai total Rp18,5 triliun diharapkan dapat mengurangi beban utang tersebut.
Salah satu privatisasi yang paling dikritik adalah privatisasi Indosat. Pada tahun 2002, Indosat dijual dengan harga Rp5,6 triliun kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia), sebuah perusahaan plat merah dari Singapura.
Namun lima tahun setelahnya, ST Telemedia menjual saham Indosat kepada Qatar Telecom dengan harga yang tiga kali lipat lebih tinggi. [Democrazy/PojokSatu]