Jokowi dari Hero to Zero: 'Gurita Bisnis Anak dan Skenario Politik Dinasti'
OLEH: REDY LIANA
Ketua Bidang Kaderisasi DPP GMNI
MA tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara, akan saya lakukan”.
Kalimat berikut merupakan ucapan Presiden Joko Widodo saat kampanye 2019, saat dirinya kembali maju sebagai calon presiden periode 2019-2024. Mendengar ucapan tersebut, tentu publik banyak yang percaya dan berharap betul bahwa Jokowi memang akan melakukan segalanya untuk kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara, alhasil dirinya terpilih kembali sebagai presiden.
Namun rupanya, ucapan itu hanya sebuah kiasan yang disampaikan semata-mata untuk memenuhi konten kampanye. Bagaimana tidak, selama kurang lebih sembilan tahun menjabat sebagai Presiden, ternyata banyak hal yang dilakukan oleh Jokowi terutama dalam rangka mengokohkan kepentingan bisnis keluarganya.
Sebagaimana kita tahu, Gibran dan Kaesang selaku anak kandung Jokowi memiliki beberapa bisnis, yang paling terkenal adalah bisnis bidang kuliner dengan brand Sang Pisang dan Markobar.
Walaupun di banyak momen, baik Gibran maupun Kaesang selalu menyatakan bahwa bisnisnya itu tidak memanfaatkan posisi bapaknya yang menjabat sebagai presiden tetapi murni sebagai bisnis yang dirintis dengan kerja keras. Akan tetapi, coba kita lihat apa yang terjadi pada Februari 2016 sebagaimana reportase Tirto.id yang dirilis dalam buku berjudul “Dinasti Politik Keluarga Jokowi”. Dilaporkan bahwa pada bulan dan tahun tersebut, Jokowi mengunjungi kantor Plug and Play yakni perusahaan akselerator start up yang berpusat di Silicon Valley, California, AS.
Dalam kunjungan tersebut, Jokowi meminta agar Plug and Play mengembangkan start up dan berinvestasi di Indonesia. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 15 November 2016, CEO Plug and Play Saeed Amidi bertemu dengan Jokowi di Jakarta untuk membahas agar saat Plug and Play berinvestasi di Indonesia, diharapkan untuk membentuk perusahaan patungan atau venture capital di luar negeri.
Akan tetapi, rupanya pertemuan tersebut hanya gimmick semata, karena dua hari sebelum pertemuan, Plug and Play sudah sepakat bermitra dengan PT Gan Kapital untuk memenuhi permintaan Jokowi yakni melakukan investasi di Indonesia melalui venture capital.
Singkatnya, kongsi dagang tersebut memakai PT Gan Inovasi Solusindo sebagai anak usaha dari PT Gan Kapital. Kemitraan ini menggunakan PT Gan Inovasi Digitalindo dan Plug and Play Singapore Pte Ltd yang masing-masing menyetor saham sebesar Rp3,25 miliar.
Kemudian kongsi ini juga menamai brandnya dengan nama GK Plug and Play. Dimana Wesley Harjono dan Anthony Pradiptya menjabat sebagai direktur utama dan komisaris pada perusahaan tersebut. Lalu, apa kaitannya dengan Jokowi, terutama Gibran dan Kaesang dalam konteks ini?
Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa pemilik saham terbesar pada PT Gan Inovasi Digitalindo adalah PT Buana Mas Sejahtera, anak usaha dari PT Dian Swastatika atau induk usaha dari Sinar Mas Grup yang bergerak dalam bidang energy dan infrastruktur. Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa nama brand dalam kemitraan tersebut adalah GK Plug and Play, dimana PT Harapan Bangsa (GK Hebat) adalah bagian dari platform akselerator bagi perusahaan rintisan di Indonesia atau dalam kata lain, GK Hebat merupakan salah satu kongsi dari kemitraan yang dimaksud. Sementara, komisaris GK Hebat sendiri adalah Kaesang Pangarep, sedangkan Direkturnya adalah Anthony Pradiptya.
Artinya, kemitraan antara Plug and Play dengan PT Gan Kapital sesungguhnya adalah sebuah jalan bagi perusahaan anak presiden untuk memperkokoh lini bisnisnya. Selain itu, masih merujuk pada sumber yang sama, PT Gan Kapital juga memiliki saham di PT Wadah Masa Depan melalui anak usahanya yakni P. Sinergi Optima Solusindo.
PT Wadah Masa Depan sendiri memiliki komisaris utama bernama Gibran Rakabuming Raka. Singkatnya, dari kemitraan investasi yang terjadi, sampai dengan perusahaan yang tidak terlibat dalam kemitraan tersebut pun, semuanya semata-mata memiliki relasi dengan peran Jokowi sebagai presiden. Artinya, sejak pertengahan Jokowi menjabat presiden pada periode pertamanya bahkan, mulailah tampak bagaimana dirinya membangun “gurita” bisnis keluarganya.
Sebetulnya masih banyak lagi bagaimana Jokowi benar-benar memainkan pengaruhnya sebagai presiden guna memperluas dan memperbesar bisnis keluarganya. Masih merujuk reportase Tirto.id, Jokowi sebetulnya juga banyak menggandeng para konglomerat Indonesia yang selama ini bisnis mereka sudah menggurita.
Misalnya, pada sekitaran 2020 bisnis kuliner Gibran bernama Mangkok Ku mendapat suntikan seed funding sebesar Rp28,3 miliar dari Alpha JWC Ventures. Mangkok Ku berada di bawah PT Pemuda Cari Cuan dengan Gibran dan Kaesang sebagai komisaris. Alpha JWC Ventures merupakan firma modal yang dimiliki oleh Jefrey Joe, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan, sebagaimana kita ketahui bahwa Will Ongkowidjaja adalah merupakan trah dari keturunan konglomerat Ongkowidjaja.
Tidak berhenti disitu, apabila kita cermati perkembangan bisnis keluarga Jokowi terutama yang dikelola oleh Gibran dan Kaesang, sangatlah berkembang pesat sejak Jokowi menjabat presiden. Masih merujuk sumber yang sama, pada 2009 misalnya hanya ada satu perusahaan yakni PT Rakabu Sejahtera, kemudian pada tahun 2010 berdiri Chilli Pari. Sejak 2015 setidaknya sampai dengan tahun 2019, bisnis keluarga Jokowi melejit dengan berdirinya banyak perusahaan.
Dari ilustrasi yang digambarkan dalam reportase Tirto.id misalnya, dua tahun pasca-Jokowi menjabat, tepatnya pada 2015 sampai dengan 2019 saja, kurang lebih sebanyak 21 entitas bisnis anak Jokowi telah berdiri, yang semuanya dimiliki secara langsung oleh Gibran dan Kaesang.
Sampai pada titik ini, apakah benar bahwa bisnis Gibran dan Kaesang murni karena kerja keras, bukan karena pengaruh Jokowi sebagai presiden? Ini tentu menjadi pertanyaan kita semua dan sangat penting untuk dijawab, agar semuanya benar-benar transparan. Oleh karena itu, untuk dapat melihat bagaimana relasi bisnis keluarga Jokowi lebih detail, bisa klik disini.
Rasanya kurang relevan apabila hanya dua putra kandung Jokowi saja yang dilihat perkembangannya dalam membangun bisnis selama Jokowi menjabat presiden. Kita ketahui, bahwa Walikota Medan yakni Bobby Nasution juga memiliki relasi keluarga dengan Jokowi. Di mana Bobby menikahi anak kedua Jokowi yakni Kahiyang Ayu. Dalam reportase Tirto.idjuga diterangkan bagaimana perkembangan bisnis dari menantu Jokowi tersebut.
Dijelaskan bahwa sebelum menjadi menantu Jokowi, Bobby memang sudah memiliki bisnis yakni sebuah café yang berdiri sejak 2013. Kemudian, pada 2017 dirinya resmi menjadi menantu Jokowi, dari situ semakin terlihat bagaimana tentakel bisnis Bobby berkembang. Kurang lebih satu tahun pascamenikahi anak Jokowi, Bobby memiliki saham sebesar Rp9,3 miliar di PT Wirasena Cipta Reswara sekaligus menjabat sebagai Komisaris. Perusahaan ini juga memiliki saham di PT Pilar Wirasena Sinergi sebesar Rp1,53 miliar yang bergerak di bidang pertanian.
Masih berdasarkan sumber yang sama, sekitar 2017, Bobby bergabung dengan Takke Group sebagai direktur pemasaran dan terlibat dalam pembangunan apartemen Malioboro City di Yogyakarta. Takke Group memang sangat minim publikasi terkait aktivitasnya, namun terdapat beberapa proyek pada tahun 2019 yang bernilai sekitar Rp2 triliun.
Misalnya apartemen Kemang View, Metro Galaxy di Bekasi, dan sejumlah perumahan tapak, salah satu diantaranya seperti Cimanggis Permai. Apabila ditotal semua, Takke Group telah membangun sebanyak 8.000 unit perumahan tapak.
Perusahaan Walikota Medan tersebut yakni PT Wirasena Cipta Reswara juga terlibat dalam proyek pembangunan perumahan bersubsidi di Sukabumi. Banyak kalangan menilai, keterlibatan perusahaan Bobby dalam proyek ini juga tak lepas dari pengaruh mertuanya yang menjabat sebagai presiden sehingga dengan mudah dapat memenangkan tender projek tersebut. Akan tetapi, berdasarkan laporan Tirto.id, dalam perjalanannya proyek perumahan yang bernama Nawacita Sukabumi Sejahtera Satu itu sempat juga digugat oleh PT Glostar Indonesia.
Di mana PT Glostar Indonesia terkena dampak dari aktivtas cut and fill PT Wirasena Cipta Reswara yang menurut perusahaan tersebut, aktivitas yang dimaksud tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Namun akhirnya gugatan tersebut ditolak, dan PT Glostar Indonesia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah internalnya demi mengurangi kerugian.
Dari beberapa contoh di atas, tentu menarik apabila kita juga melihat bagaimana relasi bisnis Bobby selaku menantu presiden berkembang, mengingat PT Wirasena Cipta Reswara juga memiliki relasi bisnis dengan PT Sambas Minerals Mining, perusahaan tambang nikel di Konawe Selatan sebagai pemegang saham terbesar kedua yakni sebesar Rp5,7 miliar.
Berubahnya sikap PT Glostar Indonesia apakah murni semata-mata karena mereka ingin fokus membenahi masalah internalnya, bukan karena berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar?
Pertanyaan ini juga menjadi sebuah misteri, tentu hanya PT Glostar Indonesia dan Tuhan yang tahu. Selain itu, sebagaimana kita sadari, terutama di periode Jokowi yang kedua begitu serius dalam melakukan hilirisasi nikel. Tidak berlebihan apabila publik bertanya apakah ada kaitan antara menantunya yang memiliki saham terbesar kedua pada perusahaan yang bergerak di permunian nikel dengan program hilirisasi tersebut? Tentu lagi-lagi pertanyaan ini menjadi misteri yang bukan tidak mungkin akan terjawab di kemudian hari. Untuk melihat relasi bisnis dari menantu Jokowi bisa klik disini.
Kontroversi bagaimana keluarga Jokowi dalam membangun gurita bisnis hanya salah satu dari sekian kontroversi yang ada. Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagaian soal syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden berusia minimal 40 Tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada misalnya, publik juga pernah lelah untuk terus menyoroti hal tersebut karena cukup kontroversial. Apalagi, putusan itu juga diwarnai dengan dissenting opinion dari empat hakim MK yang kurang lebih menyatakan banyak keanehan dalam memutus hal tersebut.
Sorotan publik terhadap fenomena ini tentu sangat beralasan, karena apa yang dilakukan oleh Jokowi di akhir-akhir masa jabatannya, sangat kental dengan aroma arogansi dan haus kekuasaan. Dari mulai “mendesain” anak bungsunya yakni Kaesang Pangarep yang secara instan diangkat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), memainkan pengaruh dalam memobilisasi Ormas relawannya untuk serang sana serang sini, sampai dengan bermain gimmick seakan akan netral, tapi ujungnya menggelar karpet merah untuk sang anak yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden.
Publik tentu sangat mudah mencium aroma-aroma ambisius Jokowi untuk memperbesar kekuasaannya. Sebagai contoh dari kasus putusan MK saja, permohonan terkait perubahan syarat usia Capres dan Cawapres pertama kali diajukan oleh PSI, di mana adik Gibran yang dalam hal ini anak bungsu Jokowi adalah ketua umum partai tersebut. Selanjutnya, hakim MK berikut juga menjabat sebagai ketua MK bernama Anwar Usman adalah ipar dari Jokowi, atau sebagai paman dari Gibran dan Kaesang.
Kecurigaan publik dalam mengendus niatan yang penuh ambisi dan arogansi Jokowi, diafirmasi melalui pendapat hakim MK yakni Arif Hidayat yang menyatakan bahwa pada mulanya ketua MK tidak mengikuti rapat untuk memutus dengan alasan ada konflik kepentingan karena dirinya berkait langsung dan tidak langsung dengan permohonan tersebut. Akan tetapi, dalam putusan selanjutnya ketua MK ikut memutus, dan ketika ditanyakan kembali alasan tidak ikut sebelumnya, ketua MK menjawab dirinya sedang sakit perut.
Kejadian ini sudah lebih dari cukup memberikan gambaran kepada khalayak, bagaimana mahkamah yang suci dan menjadi harapan satu-satunya sebagai penegak konstitusi saja dikangkangi oleh argumentasi yang sangat sepele, yakni sakit perut. Apa yang dilakukan Jokowi, termasuk yang dilakukan oleh ketua MK memberi kesan bahwa sindiran Mahkamah Konstitusi sebagai mahkamah keluarga adalah mungkin benar adanya. Semua berjalan seakan mengikuti irama “dansa” Jokowi, mengikuti seluruh ambisi Jokowi yang sama sekali tidak menempatkan kepentingan rakyat sedikitpun.
Benar apa yang disampaikan oleh Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel yang diterbitkan dalam South East Asia Research berjudul ‘Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Post-clientelist Initiatives?’ pada 2016, bahwa sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan kepada publik selama kampanye yakni mengutamakan kepentingan rakyat. Dari banyak fenomena yang ia lakukan belakangan ini, hanya semakin mempertegas apa yang disampaikan oleh Yuki dan Lucky dalam artikelnya.
Tidak hanya itu, menurut Bend Bland seorang peneliti dari Lowy Institute misalnya, dengan merangkul Prabowo, maka upaya itu adalah pengkhianatan bagi demokrasi. Sekarang apa yang disampaikan oleh Bland tersebut menjadi begitu terang, Jokowi memang seorang yang telah berkhianat terhadap demokrasi, dengan telah menempatkan konstitusi berada di bawah dirinya sendiri. Lantas, apa yang bisa kita ucapkan dalam keadaan seperti ini? Jokowi, yang dulu dianggap sebagai “juru selamat”, kini publik bisa melihat bahkan mungkin menilai, bahwa era dinasti Jokowi ada di depan mata.
Tentunya setelah kita lihat apa yang telah ditulis dalam reportase Tirto.id yang secara ringkas diuraikan pada bagian awal, dengan apa yang beberapa hari ke belakang kita lihat dan alami terkait situasi politik nasional, semuanya seakan sangat kuat beririsan dengan kepentingan Jokowi memperluas kerajaan ekonomi, membangun dinasti bersama-sama dengan seluruh kroni.
Kalimat penutup dari reportase Tirto.id ditulis dengan tulisan “Dalam waktu enam tahun: anak dan menantu jadi walikota, satu anak jadi pengusaha. Dinasti politik baru di Istana”, maka melanjutkan kalimat penutup tersebut, tulisan ini ditutup dengan “Dalam waktu Sembilan tahun: Orang Istana semakin ingin menjadi Raja”. ***