DEMOCRAZY.ID - Pemilihan Presiden RI pada 2024 mendatang sudah menjadi sorotan dunia. Hal ini banyak diulas oleh lembaga riset maupun media ternama dunia.
Lembaga think tank yang berbasis di Washington DC, Carnegie, baru-baru ini pun membuat ulasan. Badan itu dalam websitenya memuat opini khusus berjudul "Indonesia's 2024 Presidential Election Could Be the Last Battle of the Titans." Tulisan ini sendiri dimuat oleh Sana Jaffrey.
Ia adalah sarjana program Asia di Carnegie Endowment for International Peace dan peneliti Australian National University (ANU).
Ulasan tersebut menggambarkan bagaimana pilpres menjadi ajang "para raksasa lama bertarung".
Pertarungan tersebut dikaitkan dengan para calon pemimpin yang maju di pilpres RI, yang masih didominasi pemimpin politik, bisnis, dan militer yang membangun peruntungan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto.
"Di bawah tekanan publik yang sangat besar, mereka setuju untuk melakukan demokratisasi namun menetapkan aturan pemilu untuk mencapai dua tujuan," tulisnya menyebut reformasi setelah Orde Baru lengser, dikutip Sabtu (7/10/2023).
"Menciptakan hambatan masuk yang tidak adil bagi pemain baru sekaligus memastikan persaingan yang adil di antara mereka sendiri," katanya.
Dituliskan bahwa selama dua dekade terakhir, sebagian besar kekuasaan itu memang telah berpindah tangan di antara kelompok elit.
Partai politiklah yang menentukan siapa yang akan ikut serta dalam pemilu dan apa yang dilakukan pemenang di sela-sela pemilu.
Namun Presiden Joko Widodo(Jokowi) disebut sebagai figur yang melanggar "aturan" kelompok itu. Meski begitu, Presiden juga dikatakan kini mengikuti alur permainan yang sama.
"Joko Widodo, presiden yang sangat populer di Indonesia, adalah orang luar pertama yang melanggar kelompok ini," muatnya menjelaskan bagaimana Jokowi berasal dari lingkaran berbeda.
"Namun ia segera menyadari bahwa meskipun dukungan rakyat mungkin telah membantunya naik ke tampuk kekuasaan, penerapannya dalam sistem yang dikendalikan oleh para elit era Suharto mengharuskan kita untuk mengikuti aturan mereka," tulisnya.
"Pada tahun 2024, para pialang kekuasaan di Indonesia yang sudah berusia lanjut mendukung calon-calon presiden baru dan lama, yang mungkin merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menentukan bidang kontestasi politik," jelas Jaffret lagi.
"Namun Widodo, yang upayanya untuk meraih masa jabatan ketiga di luar konstitusi dihalangi oleh orang lama ini, tidak siap untuk melepaskan kekuasaannya dan secara terbuka menyatakan niatnya untuk ikut campur dalam persaingan tersebut," muatnya.
"Berbeda dengan pendahulunya, Widodo tidak memiliki silsilah politik yang akan memberinya pengaruh dalam politik setelah lengser dari jabatannya. Sebaliknya, ia memanfaatkan popularitas dan kendalinya yang abadi atas lembaga-lembaga negara untuk memastikan terpilihnya penerus yang bersahabat dan memantapkan dirinya di antara generasi baru raja-raja," jelasnya lagi.
Kemudian, dijelaskan bagaimana para capres yang akan bertarung muncul. Prabowo Subianto, kembali dikaitkan sebagai mantan menantu Soeharto.
Digambarkan bagaimana Prabowo sebelumnya telah lama menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa pemerintahan ayah mertuanya, dan sempat dilarang memasuki Amerika Serikat (AS).
Ia diberhentikan dari jabatannya di militer setelah menyerbu istana presiden untuk mengancam penerus Soeharto pada tahun 1998.
"Prabowo telah lama membantah klaim tersebut, namun hingga saat ini, cerita tentang kemarahannya meningkatkan kekhawatiran mengenai kesesuaiannya untuk menduduki jabatan tinggi," ulasnya lagi.
Sekarang, Prabowo menghindari pesan-pesan kebijakan keras. Sebaliknya, ia mencoba merayu banyak pendukung muda Jokowi dengan meniru gaya santainya melalui postingan media sosial yang dikurasi.
"Ia telah mencapai keunggulan yang cukup besar dengan pemilih berusia antara tujuh belas dan tiga puluh sembilan tahun yang mencakup lebih dari 60 persen pemilih yang memenuhi syarat namun masih terlalu muda untuk mengingat masa lalunya yang penuh kekerasan," tulisnya.
Saingan Prabowo-pun dipaparkan. Termasuk salah satunya lawannya Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta, yang disebut menjanjikan "perubahan" namun dicalonkan oleh Partai Nasional Demokrat yang merupakan anggota koalisi pemerintahan Jokowi yang berpengaruh selama sepuluh tahun terakhir.
"Perusahaan ini dimiliki oleh raja media dan mantan pemimpin Golkar, Surya Paloh," tulisnya lagi mengaitkan dengan Soeharto lagi.
Sebagai seorang ilmuwan politik lulusan Amerika, Anies pertama kali menjadi terkenal secara nasional sebagai rektor sebuah universitas Islam liberal dan sempat menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Di 2016, Prabowo mencalonkan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta dan ia menang.
"Kini, ia ingin melepaskan citra konservatifnya dan merayu Muslim arus utama di Jawa, yang tanpa dukungannya ia tidak dapat menang," papar Jaffrey.
Saingan lain adalah Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah. Ia sangat disukai karena pesona mudanya, namun pencapaiannya yang paling luar biasa sejauh ini adalah mendapatkan nominasi presiden dari Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan.
"Terbakar oleh sikap independen Jokowi, PDIP secara agresif menegaskan kepemilikannya atas Ganjar dengan memaksanya mengikuti garis partai dalam isu-isu yang memecah belah," tulisnya.
"Pada bulan Maret, Megawati memerintahkan Ganjar, bersama dengan gubernur PDIP lainnya, untuk menolak menjadi tuan rumah tim nasional Israel dalam pertandingan Piala Dunia U-20 FIFA. FIFA menanggapinya dengan mencabut hak tuan rumah Indonesia dan mengalihkan turnamen ke Argentina," jelas Jaffrey.
Elit Lama Masih Memilih Kandidat?
Lebih lanjut, dengan situasi ini, Jaffrey mengungkapkan pilpres2024 membawa Indonesia pada titik puncak perubahan generasi yang akan datang. Elit lama masih bertugas memilih kandidat, dan mengikuti tradisi panjang politik dinasti di negara ini.
Beberapa elit telah mengambil langkah-langkah untuk mewariskan kepemimpinan partainya kepada anak-anaknya.
Karena tidak memiliki garis keturunan seperti ini, Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memposisikan dirinya di antara generasi pemimpin berikutnya.
"Ironisnya, cara Jokowi menunjukkan bahwa taktik yang digunakan untuk mendominasi politik di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia selama dua dekade terakhir mungkin akan bertahan lebih lama dari para pembuat taktik aslinya," tutupnya.
Sumber: CNBC