Duet Prabowo-Khofifah
Oleh: Hamid Awaluddin
Mantan Menteri Hukum dan HAM
PAPAN reklame berukuran jumbo terpasang di sudut kota di Surabaya, Jawa Timur. Posisi dan gambarnya sangat menonjol, menyita perhatian siapa pun yang melihatnya.
Gambar Prabowo Subianto bersama Khofifah Indar Parawansa, sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024.
Saya menganggap papan reklame itu bukan uji coba. Juga bukan iseng-iseng dan kaleng-kaleng. Ia dibuat bukan sekadar keinginan sementara dengan maksud uji coba. Ia mewakili kesungguhan dan representasi kebenaran.
Masalahnya, waktu untuk mendaftar sebagai bakal capres-cawapres tinggal dua pekan. Durasi waktu yang singkat itu, terlampau pendek untuk sekadar iseng dan test the water.
Kini, mulai terkuak sudah misteri itu. Tersingkap sudah tirai teka-teki panjang itu: siapa pendamping Prabowo Subianto.
Pupus sudah harapan dan penantian Erick Thohir dan Airlangga Hartarto untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto. Yang jelas, ide hanya dua poros dalam pemilihan umum presiden kali ini, hanyalah keinginan belaka. Tidak bakal terjadi.
Memilih pendamping dalam kontestasi pemilihan presiden, pada umumnya didasarkan pada pertimbangan utama, yaitu apakah ia mampu menarik gerbong pemilih untuk memenangkan kontestasi, dan apakah ia bukan justru pemegang liability untuk kalah lantaran rupa-rupa ikhwal.
Dalam tataran implementasi lapangan, biasanya, pertimbangan representasi geografis (jumlah penduduk) yang menjadi pertimbangan awal.
Setelah itu, pertimbangan segmen sosial mana yang diwakilinya, misalnya, organisasi besar yang memiliki pengaruh kuat di akar rumput. Bisa organisasi berbasis keagamaan atau kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mengapa Khofifah?
Wanita aktivis yang memiliki segudang pengalaman pemerintahan ini, mewakili provinsi yang berpenduduk besar.
Ia Gubernur Jawa Timur. Ia juga merepresentasi organisasi keagamaan yang sangat besar dan berpengaruh, Nahdlatul Ulama, sekalian simbol kekuatan kaum perempuan, Muslimat NU, sebab ia ketua organisasi tersebut.
Deskripsi empirik yang dimiliki Khofifah tersebut, nampaknya membuat Prabowo Subianto yakin atas pilihannya pada Khofifah.
Lantas, kita pun semua bertanya, bagaimana dengan Erick Thohir, yang menurut berbagai versi konon adalah titipan Presiden Joko Widodo?
Prabowo Subianto, saya pikir, sudah berkalkulasi matang tentang itu. Tentu ia sudah menyiapkan jawaban dengan kalkulasi praktis untuk Presiden Jokowi. Mau menang atau kalah?
Lagi-lagi, kita semua bisa mengajukan pertanyaan berikut: apakah Khofifah sudah mendapat restu dan izin dari Presiden Joko Widodo?
Bila Khofifah benar-benar menerima ajakah Prabowo, maka restu dan izin dari kekuasaan pun pasti sudah dikantonginya.
Saya pun mulai berandai-andai. Bila Ganjar Pranowo kelak akan berpasangan dengan Mahfud MD, maka pertarungan antara warga dan kader Nahdliyin akan kian seru.
Pasangan Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin adalah orang NU. Khofifah adalah kader NU, Mahfud MD juga demikian.
Ini mengulangi kontestasi pemilihan umum presiden 2004: Hamzah Haz (NU) berpasangan dengan Agum Gumelar, Salahuddin Wahid (NU) berpasangan dengan Wiranto, Hasyim Muzadi (Ketua Umum NU) berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla (NU) berpasangan dengan SBY.
Satu-satunya pasangan yang bukan warga Nahdliyin ketika itu, ialah Amien Rais yang berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo. Pemilihan presiden kali ini, pasti sangat seru di kalangan Nahdliyin lagi.
Bila ternyata nantinya terbukti Prabowo menetapkan Khofifah sebagai pendampingnya dalam Pilpres 2024, tentu kita semua mengajukan pertanyaan lanjutan: bagaimana PAN yang mengajukan Erick Thohir dan Partai Golkar yang juga membayangkan Airlangga Hartarto sebagai pendamping Prabowo? Apakah kedua partai pengusung tersebut bakal mengundurkan diri dari koalisi pendukung Prabowo?
Saya yakin, itu tidak bakal terjadi karena waktu untuk mencari koalisi baru sudah hampir habis. Memulai sesuatu yang baru amat pelik karena butuh waktu panjang untuk saling menyesuaikan.
Lagi pula, bila kedua partai tersebut keluar dari koalisi, Prabowo Subianto tetap bisa maju menjadi calon karena koalisi Partai Gerindra bersama Partai Demokrat, batas minimum perolehan partai untuk mencalonkan presiden/wakil presiden, tetap terpenuhi. Tidak ada masalah.
Sejatinya, pasangan Prabowo-Khofifah, sejak dari awal. Malah, sebelum Prabowo mencanangkan koalisi dengan PKB, nama Khofifah mendampingi Prabowo sudah berhembus kencang.
Hanya ketika itu, Khofifah belum berani menyatakan setuju, karena pengaruh kekuasaan atas dirinya, masih sangat dominan. Kali ini, duet Prabowo-Khofifah, ibarat cinta lama bersemi kembali.
Bagaimana bila Khofifah tiba-tiba diminati juga oleh Ganjar Pranowo? Isu ini mulai berhembus juga. Nah, ini sepenuhnya tergantung pada Khofifah.
Yang pasti, dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden kali ini, harga kader-kader NU meroket tinggi. Permintaan pasar datang silih berganti, susul menyusul, tanpa henti.
Ini semua karena posisi NU secara geografis, berpusat di Jawa Timur, yang memiliki populasi terbesar kedua di republik kita. Para calon mungkin berprinsip: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Dalam benak saya pun sekarang, muncul kerisauan khusus: sebesar apa pun kue yang tersedia, bila banyak orang yang meminatinya, maka masing-masing orang hanya mendapat irisan tipis. Sudahkah dipikir yang ini? Wallahu alam bissawab. ***