DEMOCRAZY.ID - Kasus pembunuhan yang dialami Wayan Mirna Salihin pada 2016 silam kini kembali ramai diperbincangkan.
Hal tersebut usai dirilisnya sebuah film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso viral.
Berbagai hal yang berhubungan tentang tewasnya Wayan Mirna Salihin di Kafe Olivier, Jakarta Pusat itu pun kini kembali menuai sorotan.
Begitupun dengan kronologi kasus Kopi Sianida 2016 yang terjadi di salah satu kafe yang terletak di Pusat Perbelanjaan Grand Indonesia, West Mall, Jakarta.
Seperti diketahui, kafe tersebut menjadi lokasi dimana Mirna tewas usai meminum secangkir kopi yang dipesan oleh temannya bernama Jessica Wongso.
Kematian Mirna Salihin pun sontak membuat banyak pertanyaan bagi beberapa pihak terkait kronologinya.
Untuk mengulas kembali kronologi dan kejadianya, rekaman CCTV saat kejadian berlangsung pun kembali dipertanyakan.
Sayangnya, rekaman CCTV saat kejadian berlangsung pada 2016 silam itu seperti ada kejanggalan yang tak biasa.
Hal tersebut ditegaskan oleh Rismon Hasihpbolan, selaku saksi ahli digital forensik yang dihadirkan kuasa hukum Jessica Wongso pada persidangan kasus kematian Wayan Mirna Salihin.
Di mana saat itu, Rismon menegaskan bahwa dirinya mencurigai tampilan CCTV kafe Olivier. Hal tersebut disampaikan Rismon saat berlangsungnya sidang lanjutan kasus kematian Mirna di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 15 September 2016 silam.
Rismon mejelaskan bahwa, rekaman CCTV kafe Olivier yang dijadikan barang bukti tersebut tidaklah asli.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada dugaan modifikasi ilegal atau tempering yang dilakukan terhadap rekaman asli CCTV itu.
Dirinya menyebut, bahwa jumlah frame dalam rekaman CCTV itu terdapat 98.750 frame.
Tapi sayangnya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ahli IT yang dihadirkan JPU, Muhammad Nuh dalam file bernama Ch_17_15.11_16.17.mp4 hanya berjumlah 2.707 frame.
Jadi bisa disimpulkan, bahwa terapat 96.043 frame video yang hilang, sehingga banyak adegan yang direkayasa, dikurangi, hingga dilebih-lebihkan.
"Kesalahan ini dapat menyebabkan keterangan dan analisis saksi ahli diragukan keabsahannya," terang Rismon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 15 Oktober 2016.
Pihaknya juga menyebut, bahwa ada beberapa jumlah frame dalam rekaman CCTV Kafe Olivier berdasarkan analisis metadata untuk video ch_17_15.11-16.17.mp4 adalah 98.750 frame.
Tapi sayangnya, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ahli IT yang dihadirkan JPU, Muhammad Nuh, metadata dalam file bernama Ch_17_15.11_16.17.mp4 hanya berjumlah 2.707 frame.
Untuk itu ada 96.043 frame video yang hilang, sehingga banyak adegan yang direkayasa, dikurangi, dan ditambahi.
"Kesalahan ini dapat menyebabkan keterangan dan analisis saksi ahli diragukan keabsahannya," ujar Rismon.
Rismon menjelaskan, frame rate video sebelum dipindah ke flashdisk sebesar 25 fps dengan resolusi 1920 x 1080 piksel. Sementara pada video-video lainnya memiliki frame rate 10 fps dengan resolusi 960 x 576 piksel.
Dengan begitu, terjadi perubahan kualitas atas video. Padahal, apabila rekaman video CCTV diekstraksi ke media lain seperti flashdisk atau harddisk tidak akan mengalami perubahan kualitas.
"Bisa saja harusnya ada gambar apa, misalkan tangan atau apa, yang seharusnya ada, menjadi kabur atau hilang sama sekali. Perbedaan resolusi frame dari CCTV dibanding dengan yang ada di flashdisk mengindikasikan ada tindakan pemanipulasian data video," jelas dia. [Democrazy/VIVA]