DEMOCRAZY.ID - Presiden Jokowi mengakui pembangunan MRT (Moda Raya Terpadu) dan LRT (Lintas Raya Terpadu) merupakan proyek rugi. Tapi proyek-proyek transportasi publik tersebut tetap dibangun berdasarkan keputusan politik.
Pembangunan MRT sendiri sudah digagas sejak 1985 atau menurut Jokowi, 26 tahun sebelum dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Saya kasih contoh MRT, sepanjang 26 tahun rencana itu ada waktu saya masih menjadi Gubernur. Rencana itu ada, tetapi tidak dieksekusi. Memang ada problemnya. Dikalkulasi, dihitung, selalu rugi. Kesimpulan rugi, hitung lagi, kesimpulan rugi," kata Jokowi seperti dikutip dari Antara, Selasa (24/10).
Tapi menurutnya, meski setelah dikalkulasi berulang kali pembangunan MRT dinilai tidak menguntungkan, namun jika tidak dibangun maka membuat Jakarta tak memiliki moda transportasi massal yang baik.
"Bapak/Ibu sekalian, memutuskan seperti itu adalah keputusan politik. Bukan keputusan ekonomi di perusahaan. Karena dihitung untung-ruginya boleh, tetapi kalau dihitung dan selalu rugi, apakah kita tidak akan bangun namanya MRT?" ujarnya.
Begitu juga dengan moda Lintas Raya terpadu (LRT) Jakarta yang dikalkulasikan menimbulkan kerugian bagi Pemprov DKI Jakarta.
Jokowi menilai bahwa sistem jalan berbayar elektronik atau 'electronic road pricing' (ERP) dapat menjadi sumber penerimaan daerah yang dapat mengkompensasi kerugian tersebut.
"Akhirnya ketemu ditutup dari ERP atau electronic road pricing. Ketemu, ya sudah, diputuskan dan saya putuskan. Dan itu keputusan politik, bahwa APBN atau APBD sekarang masih suntik Rp 800 miliar itu adalah memang adalah kewajiban. Karena itu pelayanan, bukan perusahaan untung dan rugi," kata Presiden Jokowi.
Pembangunan MRT memang digagas sejak 1985 sebagai proyek Pemprov DKI Jakarta. Baru pada 2005, MRT ditetapkan sebagai proyek nasional.
Peletakan batu pertama pembangunan MRT dilakukan pada 2013, saat Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. [Democrazy/Kumparan]