DEMOCRAZY.ID - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kerap menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo adalah petugas partai.
Di balik lekatnya julukan itu, Jokowi justru dianggap mampu mengendalikan konstelasi politik di Indonesia, bahkan terkesan berani 'berhadapan' dengan Megawati.
Masih terngiang jelas pesan perdana Megawati kepada Jokowi saat didukung sebagai capres jelang Pilpres Mei 2014.
Saat itu, Mega mendeklarasikan Jokowi jadi calon presiden dari PDIP dengan tetap berstatus sebagai "petugas partai".
"Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai," kata Megawati di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 14 Mei 2014.
Jokowi pada momen itu didukung untuk maju sebagai calon presiden untuk maju di Pilpres 2014. Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Kala itu Jokowi masih berstatus sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Ucapan Mega soal Jokowi petugas partai saat itu ramai menjadi pembicaraan publik. Jokowi pun mengakui jika dirinya merupakan petugas partai. Namun, ia menampik statusnya tersebut akan memengaruhi kerjanya di pemerintahan.
Singkat cerita, Jokowi-JK menang di Pilpres 2014 lalu melawan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Jokowi juga kembali terpilih sebagai presiden untuk periode kedua usai memenangkan Pilpres 2019 dengan menggandeng Ma'ruf Amin.
Kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 tidak membuat Megawati berhenti melepaskan predikat Jokowi sebagai "petugas partai" di depan publik.
Seiring waktu, Jokowi makin berani menunjukkan sikap politiknya. Dia bukan hanya petugas partai biasa. Di periode kedua masa jabatannya sebagai presiden, Jokowi terlihat mulai membangun kekuatan "politik keluarga" melalui anak dan menantu.
Putranya, Gibran Rakabuming Raka ikut dimajukan dan terpilih sebagai wali kota Solo pada Pilkada 2021.
Di tahun yang sama, menantunya, Bobby Nasution juga maju dan terpilih sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara. Baik Gibran dan Bobby sama-sama diusung oleh PDIP.
Baru-baru ini, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, menghentak publik usai diumumkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hanya dua hari berselang ia bergabung dengan partai itu.
Sebelumnya Kaesang tak pernah bergabung dengan partai politik apapun. Mega sempat mengungkit peran PDIP bagi Jokowi di hadapan ribuan kader PDIP dalam acara peringatan HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran Januari 2023 lalu. Dia menyinggung soal dukungan yang diberikan oleh PDIP.
Megawati menuturkan PDIP mendukung Jokowi secara legal formal atau aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya, padahal Pak Jokowi kalau enggak ada PDI Perjuangan juga, duh kasihan dah," kata Megawati.
Jokowi membangun dinasti
Peneliti Formappi Lucius Karus menganggap kiprah Jokowi sebagai presiden selama sembilan tahun terakhir ini tak sekadar sebagai petugas partai, melainkan juga memainkan peranannya sebagai politikus.
"Dia dari bukan siapa-siapa, tapi bisa mengendalikan yang paling kuat sekalipun," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/10).
Lucius menilai Jokowi terlihat sedang menanamkan pengaruh keluarganya di kancah politik. Caranya dengan membangun sebuah dinasti politik melalui penempatan anak-anaknya di jabatan publik jelang lengser dari jabatan presiden pada 2024 mendatang.
Baginya, sulit beranggapan bila Jokowi tak ikut-ikutan memberikan pertimbangan bagi anak-anaknya untuk mengisi posisi kepala daerah atau ketum parpol selama ini.
"Sulit mengatakan Jokowi tak ikut memberikan pertimbangan pada langkah politik pada anak dan keluarganya. Saya kira semangat membangun dinasti itu muncul dari Jokowi," kata dia.
Lucius menganggap kondisi demikian wajar dalam kancah perpolitikan. Pasalnya, ia melihat Jokowi nantinya tak lagi memegang jabatan kekuasaan tertinggi usai lengser dari presiden.
Menurutnya, Jokowi pasti bersandar pada kekuatan anak-anaknya untuk tetap mendapatkan pengaruh di panggung politik Indonesia.
"Dan perjalanan biasa yang sudah menikmati kekuasaan, dan sadar dia sebentar lagi akan kehilangan itu. Jadi ini fase ketakutan Jokowi akan berakhirnya masa jabatan dia sebagai presiden. Dorongan itu manusiawi sekali. Sehingga dia tetap bertahan, apa yang dia lakukan, termasuk mendorong anak-anaknya," kata dia.
Jokowi sendiri tak ambil pusing dengan anggapan yang menyebut dirinya sedang membangun dinasti, jika Gibran menjadi bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto. Dia hanya tertawa mendengarnya dan menyerahkan penilaian tersebut ke masyarakat.
"Serahkan masyarakat saja," kata Jokowi sambil tertawa di Indramayu, Jumat (13/10).
Melemahnya oposisi, mengendalikan koalisi
Tak hanya membangun kekuatan politiknya sendiri, Jokowi juga mampu melakukan konsolidasi kekuatan koalisi parpol di eksekutif dan legislatif.
Terhitung, mayoritas parpol yang memiliki kursi di DPR mendukung pemerintahan Jokowi di periode 2019-2024. Parpol yang berada di koalisi tersebut yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, PAN, PPP.
Tiap-tiap parpol koalisi itu turut menyumbangkan kadernya mengisi kursi menteri di pemerintahan Jokowi. Hanya PKS dan Demokrat saja yang kini memilih berada di luar pemerintahan.
Jumlah parpol koalisi pendukung pemerintahan Jokowi yang memiliki kursi di parlemen saat ini mengalami perkembangan ketimbang di periode pertama kepemimpinannya.
Di periode pertama ia didukung oleh PDIP, Hanura, PKB, Nasdem, Golkar, dan PPP. Sementara Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat berada di luar pemerintahan.
Mayoritas parpol yang berada di koalisi pemerintah membuat fungsi pengawasan di DPR menjadi lemah.
Oposisi Melemah Luar-Dalam
Tak sekadar oposisi yang lemah, pemerintahan Jokowi juga kerap disorot lantaran banyak terjadi tindak pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi warga sipil.
Data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat total 183 kasus terkait pelanggaran hak kebebasan berpendapat pada Januari 2022 hingga Juni 2023.
Dari jumlah itu, sebanyak 967 orang ditangkap akibat menyuarakan haknya di ruang publik. KontraS juga merinci Kepolisian menjadi pelaku dominan dengan terlibat pada 128 peristiwa, diikuti unsur pemerintah lain dengan 27 peristiwa dan swasta (perusahaan) dengan 24 peristiwa.
Sejumlah peristiwa tersebut telah menimbulkan setidaknya 272 korban luka-luka dan tiga lainnya tewas.
Tak hanya itu, LBH Jakarta mencatat pada 2021 terjadi represi yang begitu hebat terhadap kebebasan berekspresi. Masyarakat yang mencoba mengkritik pemerintah mendapatkan represi baik secara online maupun offline.
Hingga akhir tahun 2021 lalu, LBH Jakarta mencatat sekitar 18 kasus yang berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, kritik melalui media sosial namun dibalas kriminalisasi, hingga ancaman hak privasi.
Lucius Karus menilai DPR di masa pemerintahan periode kedua Jokowi kini sekadar jadi tukang stempel kebijakan pemerintah lantaran dominan parpol pendukung Jokowi.
"DPR 2019-2024 ini ya cenderung bahkan hampir seluruhnya jadi tukang stempel pemerintah. Ya itu karena dominasi parpol koalisi dan kuatnya cengkraman parpol lewat fraksi-fraksi. DPR tak punya warna lagi dan tak punya arti," kata Lucius.
Lucius melihat kini sudah tak ada kekuatan oposisi untuk mengimbangi parpol koalisi di periode kedua pemerintahan Jokowi.
Ia menegaskan dominasi di DPR ditentukan oleh kuantitas jumlah kursi. Baginya, oposisi lemah, karena jumlah sangat minim dibandingkan dengan parpol pendukung pemerintah.
"Kita punya pengalaman jumlah oposisi sedikit tapi itu juga bisa beri tekanan di DPR. Nah, kondisi itu rupanya tak terlihat di oposisi 2019-2024. Jumlah mereka sedikit jadi alasan cepat menyerah," kata dia.
Lucius menganggap kondisi ini tak lepas dari lihainya Jokowi memainkan pengaruh kekuasaannya sebagai presiden. Jokowi, kata dia, mengetahui karakter parpol-parpol di Indonesia cenderung pragmatis terhadap kekuasaan. Sehingga ia bisa memainkan pengaruhnya di parpol koalisinya.
"Transaksi jadi kata kunci, jadi Jokowi tinggal tahu prinsip 'siapa mendapatkan apa'. Dan ketika itu diberikan kepada parpol, Jokowi jadi bisa memperluas cengkraman kekuasaannya pada parpol," kata dia.
The real king maker
Jelang tahapan Pilpres 2024, ada gelagat Jokowi berbeda dukungan capres dengan PDIP. Meski belum menyatakan sikap tegasnya, namun rentetan peristiwa politik belakangan ini makin menguatkan dugaan itu.
Terlebih, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan terkait syarat capres-cawapres bisa dari unsur kepala daerah dapat memuluskan perbedaan dukungan antara Jokowi dan PDIP tersebut.
Pasalnya, putusan MK ini dinilai membuka pintu bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Dua partai Koalisi Indonesia Maju (KIM), Partai Gerindra dan Golkar telah membuka pintu bagi Gibran.
Di satu sisi, PDIP telah mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Selain PDIP, pasangan ini juga didukung oleh PPP, Perindo dan Hanura.
Tak berhenti di situ, gelagat ini juga tercium ketika Jokowi datang di Rakernas relawan Projo pada Sabtu (14/10). Pada kesempatan itu, Jokowi bersama Gibran hadir walaupun hanya sebentar. Usai rakernas itu, Projo langsung mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo di Pilpres 2024.
Selain itu, PSI yang kini dikomandani oleh Kaesang Pangarep belakangan mesra dengan Prabowo. Bahkan, keduanya sudah kerap bertemu satu sama lain.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai ada gelagat Jokowi akan berbeda pilihan dengan Megawati di Pilpres 2024. Terlebih, baru-baru ini Jokowi tak hadir dalam acara pengumuman Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo karena di saat bersamaan sedang di luar negeri.
"Jadi sangat mungkin pak Jokowi akan berbeda pilihan dengan Bu Mega. Paling minimal dia bisa dua kaki," kata Agung, Rabu.
Agung memandang dukungan relawan Projo ke Prabowo hingga ada putusan MK yang memperbolehkan syarat cawapres pernah menjadi kepala daerah menjadi kode arah dukungan Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2024.
"Sebenarnya ini titik kulminasi setelah banyak kode-kode halus yang selama ini dilemparkan Jokowi di Pilpres 2024. Itu mulai tampak eksplisit di panggung depan politik kita," kata dia.
Agung berpendapat, rentetan peristiwa ini sebagai cara Jokowi ingin memposisikan dirinya sebagai 'the real king maker' di Pilpres 2024.
Terlebih, ia mengatakan Jokowi masih memegang instrumen kekuasaan hingga Oktober 2024. Jokowi, kata Agung, ingin menjadikan semua arena politik berada di bawah kendalinya.
"Dia bukan king maker tapi the real king maker. Pertarungan capres-cawapres itu di layer pertama. Lalu dilapis kedua pertarungan king maker itu SBY, Paloh, Mega, mungkin JK. Nah, di atasnya mereka itu semua ada Jokowi," kata Agung.
"Dia mempercepat semuanya. Dia ingin semua di atas kendali dia. Kalau mau main-main sama saya tinggal saya pencet ini barang," tambahnya.
Sumber: CNN