DEMOCRAZY.ID - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan tegas menyatakan bahwa proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghasilkan efek ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat.
Selain itu, pembangunan PSN dan industri SDA dinilai menimbulkan kerusakan alam dan konflik.
"YLBHI menemukan PSN dan pengelolaan SDA menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat," tulis YLBHI dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (25/9).
Belum ada tanggapan dan komentar dari pemerintah terkait pernyataan YLBHI ini.
"Dalam memenuhi ambisi proyek-proyek ini, negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri," lanjut mereka.
YLBHI menemukan para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi.
Selama kurun 2017-2023, YLBHI mendata kekerasan terhadap petani dari penanganan kasus 18 LBH kantor. Waktu tujuh tahun ditetapkan berdasarkan dimulainya PSN sejak 2016.
Paparan data kriminalisasi mencakup wilayah konflik SDA, khususnya di wilayah PSN.
Data terbagi dalam beberapa variabel, antara lain jumlah konflik, luas wilayah konflik dan jumlah korban, pelaku kekerasan dan kriminalisasi, pola kekerasan, undang-undang yang sering digunakan, penyebab dan dampak struktural konflik.
Data YLBHI
Sebanyak 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI dan LBH di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik sekitar 800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.
Sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dengan 37 kasus. Lalu, diikuti dengan konflik PSN dengan 35 kasus.
YLBHI memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik.
Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda. Secara garis besar terdapat tiga pola.
Pertama, pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan dalam bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan.
Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua, pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga, kriminalisasi dengan 43 kasus.
"Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap, misalkan diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi," tulis YLBHI.
Selanjutnya, kata YLBHI, warga yang dikriminalisasi dijadikan sebagai alat negosiasi hingga terjadinya perpecahan pro dan kontra di masyarakat.
YLBHI mencatat dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan 29 kasus.
Kemudian diikuti UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus, dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor.
Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado.
Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus).
Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, YLBHI mencatat hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, pasal 362 yang memuat delik pidana pencurian.
Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang.
Keempat, pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Terakhir adalah pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.
YLBHI dan 18 LBH pun mendesak pemerintah dan DPR serta kementerian/;embaga terkait untuk membatalkan semua PSN yang dinilai justru merugikan rakyat, memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara melalui aparatnya kepada rakyat di berbagai wilayah.
YLBHI juga meminta pemerintah menghentikan perampasan tanah rakyat atas nama hak Pengelolaan dan klaim tanah negara.
Tuntutan lainnya yakni meminta pemerintah menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik agraria dan PSN, serta mencabut UU Cipta Kerja beserta turunannya yang dinilai sebagai pemicu meningkatnya praktik perampasan tanah dan kekerasan negara terhadap rakyat.
YLBHI juga meminta program-program nasional berkedok reforma agraria atau reforma agraria palsu dihentikan.
Selain itu, pemerintah diminta untuk menghentikan kriminalisasi terhadap seluruh pejuang agraria dan lingkungan hidup, serta melepaskan tanpa syarat seluruh pejuang agraria dan LH dari tahanan dan jerat kriminalisasi.
"Memastikan negara mengimplementasikan mandat konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk investor dan/atau para penguasa cum pengusaha," tulis YLBHI. [Democrazy/LJ]