DEMOCRAZY.ID - Rencana percepatan waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, dicurigai ada agenda untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution ketika Presiden Joko Widodo masih menjabat para September 2024.
Kecurigaan itu diungkapkan pendiri lembaga survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio alias Hensat terkait adanya rencana agenda Pilkada Serentak 2024 diubah dari November ke September, dengan alasan agar pelantikan bersama dapat dilakukan pada Januari 2025.
"Suudzonnya ya pada September Pak Jokowi masih presiden, sehingga sangat mungkin Mas Bobby dan Mas Gibran akan terbantu lagi oleh kekuasaan ayahanda (Jokowi)," kata Hensat dalam acara diskusi Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertema "Dinamika Pilpres 2024 Pasca Deklarasi Anies-Muhaimin" melalui virtual, Minggu malam (10/9).
Terkait hal itu, Hensat mengaku pernah melontarkan sebuah ketakutan bahwa tiga calon presiden yang digadang-gadang saat ini tidak bisa mencalonkan diri. Akibatnya, pendaftaran presiden diundur, dan waktu berkuasa rezim Jokowi juga diundur.
"Kalau sudah diundur bisa jadi tiga periode. Kenapa ketakutan saya itu muncul, karena wacana pembatasan umur di MK 70 tahun yang membuat Pak Prabowo tidak bisa maju karena umurnya 72 tahun nanti pada saat pendaftaran," terang Hensat.
Selain itu, kata Hensat, ketakutannya itu juga karena adanya langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap melakukan tindakan hukum kepada Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
"Jadi artinya kalau Prabowo tidak bisa daftar, kemudian Cak Imin juga tidak bisa mendampingi Anies Baswedan, hanya Ganjar Pranowo yang bisa mendaftar, otomatis tidak boleh karena di dalam pilpres tidak dikenal calon tunggal, tidak boleh lawan kotak kosong," jelasnya.
Sehingga, kata Hensat, ketika hal tersebut terjadi, maka sangat mungkin waktu pendaftaran capres-cawapres diundur, yang mengakibatkan jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
"Kenapa saya memiliki ketakutan seperti itu, karena terus-menerus jadwal (pemilu) berubah," pungkas Hensat.
Tito Ungkap Alasan di Balik Usul Pilkada 2024 Dipercepat ke September
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian merespons menjelaskan soal usulan pemungutan suara Pilkada 2024 dipercepat dari bulan November ke September.
Tito menyebut usulan itu muncul dari hasil diskusi sejumlah pihak, mulai dari partai politik hingga pengamat dan akademisi.
"Jadi idenya teman-teman dari kita ngobrol-ngobrol ke September. Nah, September kita diskusikan dengan KPU, KPU mengatakan ini skenario bisa dilakukan tahapannya bisa diatur," ujarnya di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (5/9).
Pertimbangan pemungutan suara Pilkada 2024 dimajukan agar ada sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Tito, selama sinkronisasi belum optimal karena ada perbedaan masa pelantikan kepala negara dan kepala daerah.
"Yang sebelum ini, kita lihat misalnya Pak Jokowi dilantik Oktober 2014. Tahun 2017 ada Pilkada 101, setelah itu ada lagi Pilkada 2018, ada bupati gubernur baru di tengah-tengah dengan membuat rencana pembangunan 5 tahun yang mereka sendiri. Akibatnya enggak sinkron, di lapangan ada yang bangun dermaga, di daerahnya enggak membangun jalanan," kata Tito.
Tito mengatakan itu bisa diatasi jika jadwal pemungutan suara Pilkada 2024 dimajukan dari November ke September.
Apabila pemungutan suara pilkada dimajukan ke September, maka pelantikan kepala daerah seluruh Indonesia bisa dilakukan tiga bulan setelahnya, yakni pada 1 Januari 2025. Berdekatan dengan pelantikan presiden yang dilakukan pada Oktober 2024.
Hitungan tiga bulan itu adalah waktu penyelesaian sengketa pilkada setelah pemungutan suara.
"Kalau mau dekat justru idenya, dari teman-teman lho ya, dari teman-teman parpol, dari pengamat, justru dimajukan. Dimajukan ke tiga bulan dari 1 Januari. Dihitung lah Desember, November, Oktober, September lah the right time. September itu waktu yang dianggap cocok," ujarnya.
Namun, jika pemungutan suara pilkada dilakukan tetap di bulan November, maka waktu pelantikan kepala daerah tidak bisa berdekatan dengan pelantikan presiden.
"Pengalaman kita, ada sengketa, ada proses di KPU. Paling tidak sebagian selesai itu 3 bulan. Kalau mau 3 bulan, kalau dimundurkan maka akan makin jauh jarak pelantikan presiden dengan kepala daerah," ucap dia.
Tito menyebut usulan itu rasional selama lembaga penyelenggara pemilu mampu melaksanakannya. Kemendagri juga tidak keberatan jika pemungutan suara dimajukan.
"Di mana posisi Kemendagri? Kami lihat itu cukup rasional sepanjang KPU siap untuk mengerjakan mereka merasa mampu, why not di bulan September? dan kemudian akhir Desember selesai," ujar Tito.
Ia menyebut jika pada 31 Desember 2024 seluruh kepala daerah hasil Pilkada telah selesai, maka 1 Januari 2025 kepala daerah definitif sudah mulai memimpin.
"Ketika 31 Desember seluruh kepala daerah hasil Pilkada 2020 mereka selesai, maka 1 Januari sudah diisi pejabat definitif hasil Pilkada 2024," tegasnya. [Democrazy/RMOL]