NU Haramkan Perampasan Tanah Rakyat oleh Negara
Nahdlatul Ulama (NU) mengharamkan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh negara. Hal itu merupakan keputusan yang diambil dalam Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU pada 22-24 Desember 2021 lalu.
Tanah yang sudah ditempati rakyat selama bertahun-tahun, meski belum mendapatkan rekognisi status kepemilikannya oleh negara, tidak boleh diambil oleh pemerintah.
"Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya' (pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut," kata Ketua Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar NU, Abdul Ghofur Maimoe dalam keterangan resmi.
Ghofur menjelaskan bahwa pembahasan perampasan tanah hingga membuahkan keputusan berangkat dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi selama puluhan tahun di Indonesia.
Pembahasan ini juga berangkat dari konflik-konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan negara belakangan ini.
Ghofur mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil lahan yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' oleh pemerintah maupun ihya'.
Sejak UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijalankan, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam semakin mendalam. Terlebih antara sektor pertanian rakyat dan pertanian/perkebunan besar atau antara sektor pertanian dan nonpertanian.
Pembatasan Kepemilikan Tanah
Tak hanya itu, Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar NU, Alissa Wahid mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang membatasi kepemilikan tanah.
Ia menekankan agar negara atau pemerintah juga perlu memperkuat perlindungan terhadap kepemilikan dan daulat rakyat atas tanahnya.
Menurut dia, titik tekan kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada industri menjadikan rakyat sebagai kelompok lemah dan rentan ditindas atas nama pembangunan.
"Negara perlu memberikan afirmasi dan fasilitasi yang diperlukan untuk melindungi kepentingan rakyat," ujar Alissa.
Muktamar NU juga menyoroti soal status tanah ulayat yang dimiliki kelompok-kelompok budaya secara kolektif. Dalam hal ini, negara didorong agar memberikan perlindungan atas tanah ulayat dari penggusuran dan alih kepemilikan kepada investor.
"Perlu ditemukan suatu sistem manajemen atau kearifan lokal di mana penanaman modal, baik dari dalam maupun luar negeri, tidak mengubah kepemilikan tanah bagi rakyat dan dalam waktu yang sama menguntungkan kedua belah pihak," kata Alissa.
Dalam Islam, lanjut Alissa, perampasan tanah sebagai tindakan berdosa. Baik yang dilakukan dengan perampasan hak milik perseorangan maupun hak pengelolaan atas tanah tertentu.
Karenanya, NU telah merekomendasikan agar penegakan hukum atas sengketa pertanahan harus ditujukan untuk mencegah terjadinya perampasan.
"Terutama dalam hal perampasan dilakukan oleh kelompok yang lebih berkuasa terhadap kelompok rakyat lemah," kata Alissa.
Mestinya @PBNU1926 @PBNU_164 juga bersuara keras.. Toh sdh banyak keputusan Bahtsul Masail tentang itu.. Nahdliyin menunggu, sdh hampir 10 thn NU mengingkari hati nurani dan keputusannya sendiri.. Bgmn NU mau membela org lain, membela nahdliyin saja tdk.. pic.twitter.com/EljwdqfaWQ
— Boy Winarso (@WinarsoBoy) September 14, 2023