DEMOCRAZY.ID - Hasil investigasi atas peristiwa 7 September 2023 di Pulau Rempang menemukan banyaknya selongsong gas air mata di lokasi kejadian.
Beberapa diantaranya bahkan dirampas oleh oknum tak dikenal, saat warga mengamankan selonsong itu sebagai barang bukti.
Demikian salah satu temuan awal investigasi yang dilakukan sembilan lembaga pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) melalui publikasi bertajuk "Keadilan Timpang di Pulau Rempang", temuan awal investigasi atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM 7 September di Pulau Rempang.
"Tak kunjung ‘taubat’ gunakan gas air mata. Salah satu langkah yang disoroti saat peristiwa tanggal 7 September 2023 lalu adalah penggunaan gas air mata yang dilakukan secara membabi-buta oleh aparat gabungan," demikian dikutip dari publikasi tersebut, Selasa (19/9/2023).
"Dalam berbagai macam video yang tersebar di media sosial, Kepolisian menembakan gas air mata secara terus menerus, tanpa memperhatikan aspek-aspek penting seperti harus terukur, proporsional dan masuk akal," demikian lanjut publikasi itu.
Dalam berbagai dokumentasi, warga sempat melakukan pengumpulan terhadap selongsong gas air mata yang tersebar di jalan dan tempat-tempat penembakan.
"Sayangnya, barang yang dikumpulkan tersebut dirampas oleh orang yang tidak diketahui -yang dicurigai bagian dari Kepolisian," demikian ditulis dalam laporan hasil investigasi.
[DOC]
Kapolri: Mau Tidak Mau Dilontarkan Gas Air Mata
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak memungkiri adanya penembakan gas air mata oleh aparat usai bentrokan tersebut pecah di Pulau Rempang pada 7 September 2023.
Penembakan gas air mata terpaksa dilakukan oleh aparat karena warga yang mulai bersikap anarkis dalam penghalangan itu.
"Bentrokan yang mengarah ke hal yang bersifat anarkis sehingga kemudian mau tidak mau dilontarkan gas air mata untuk membubarkan. Memang ada beberapa isu di lapangan. Namun, saat itu semuanya kemudian bisa kita tindaklanjuti," kata Listyo, Kamis (14/9/2023).
"Sehingga kemudian situasi termasuk masyarakat juga kemudian bisa kita atasi dengan baik. Berikutnya kemudian dilaksanakan sosialisasi kemudian dilaksanakan pemasangan patok bisa berjalan," sambungnya.
Listyo juga mengungkapkan kronologi bentrokan yang pecah antara warga dengan aparat keamanan yang tengah melakukan pengamanan pemasangan patok pada pembangunan Rempang Eco Park.
Menurutnya, bentrokan tersebut terjadi usai akibat sejumlah warga Pulau Rempang menolak proses relokasi yang terjadi.
"Jadi sebagaimana instruksi dari Bapak Presiden bahwa ada komunikasi yang mungkin tidak berjalan dengan baik terkait dengan proses rencana relokasi masyarakat yang ada di Pulau Rempang," kata Listyo.
"Kejadian beberapa waktu yang lalu sebenarnya sudah ada sosialisasi. Mungkin masyarakat masih belum semuanya memahami sehingga pada saat terjadi kegiatan pengukuran patok dalam rangka hanya memasang patok terjadi penutupan jalan dan kemudian eskalasinya meningkat sehingga terjadi bentrokan," sambungnya.
Tak Mau Dipersalahkan
Meski mengakui adanya penggunaan gas air mata, namun Mabes Polri menolak disalahkan atas pengamanan yang berujung bentrokan dengan masyarakat di Pulau Rempang.
Mabes Polri juga memastikan, tak ada korban jiwa dalam bentrokan antara warga dan aparat keamanan gabungan Polri-TNI, serta Satpol PP Otoritas Batam.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan menjelaskan, pengerahan personel antihuru-hara Polda Kepulauan Riau ke Pulau Rempang, Kamis (7/9/2023) adalah untuk perbantuan.
Menurut dia, BP Batam mengandalkan Satpol PP dalam melakukan pengamanan kawasan Pulau Rempang untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City. Namun warga dikatakan menolak, dengan melakukan pemblokiran jalan-jalan utama ke kawasan tersebut.
Pihak kepolisian, bersama Korps Angkatan Laut (AL)-TNI, pun turun tangan untuk membuka blokade jalanan yang dilakukan oleh warga. Dan meminta masyarakat, untuk memberikan akses masuk aparat keamanan gabungan dalam membantu urusan Satpol PP dan BP Batam.
Akan tetapi, kata Brigjen Ramadhan, sikap keukeuh warga yang menolak mengakhiri blokade jalanan, berujung pada aksi yang dinilai aparat keamanan, anarkistis.
“Tentu pihak kepolisian, bersama-sama BP Batam sudah melakukan dialog-dialog. Dan kepolisian, sifatnya hanya membantu kebijakan-kebijakan yang sedang dilakukan,” kata Ramadhan, di Mabes Polri, di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Karena dialog berakhir deadlock, kata Ramadhan, aparat gabungan terpaksa membubarkan warga. Kepolisian mengakui menggunakan gas air mata, dan water canon dalam menyudahi aksi masa.
Tetapi, kata Ramadhan, perlawanan warga, kata dia, malah menyasar aparat gabungan. Karena itu, kepolisian terpaksa melakukan penangkapan-penangkapan.
“Dari situasi pengamanan yang terjadi, tidak benar yang dikabarkan adanya korban jiwa, tidak benar ada yang luka-luka,” kata Ramadhan.
Kepolisian setempat, dikatakan Ramadhan, pun membantah kabar tentang puluhan siswa-siswa sekolah yang mengalami pingsan lantaran diserang gas air mata saat proses belajar-mengajar di kelas.
Namun, Ramadhan memang mengakui, luapan dari tembakan gas air mata untuk mengurai masa yang dinilai anarkistis tersebut, memang menyebar ke pemukiman dan sekolah-sekolah.
Karena dikatakan Ramadhan, saat kerusuhan terjadi, para siswa sekolah sedang berada di ruang-ruang kelas.
Dan pada saat upaya mengurai kerusuhan dengan tembakan gas air mata itu terjadi, faktor cuaca yang menyebabkan zat perih itu menyeruak ke segala penjuru.
“Tidak benar kalau dikatakan siswa-siswa itu puluhan yang pingsan. Yang ada tindak aparat kepolisian menyemprotkan (menembakkan) gas air mata, ketiup angin sehingga mengganggu penglihatan untuk sementara,” kata Ramadhan.
Sumber: TvOne