DEMOCRAZY.ID - Satu lagi kisah sedih para peteran perang yang angkat senjata melawan penjajah Belanda.
Ia akrab disebut Kakek Anwar. Kabarnya sang kakek menguasai tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda.
Dilansir dari berbagai sumber, waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
Dikatakan, bahwa semasa perjuangan Anwar, Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, dengan pangkat Letnan Satu.
Namun setelah Indonesia merdeka dan rakyat berjaya dengan modernisasi, Anwar yang sudah renta terseret terperosok dalam kemiskinan.
Anwar hidup menumpang di rumah warga di Koto Baru, Padang dan terpaksa mengemis demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengisi perutnya yang kosong.
Sebagai orang yang sudah berjasa untuk negeri ini, saat mengemis tak jarang, ia mendapat perlakuan yang kurang layak dari pengguna jalan.
Melansir dari, kabarmakkah.com 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup.
Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh. Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis.
“Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.
“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak.
Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,” ulas Anwar menatap kosong.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa.
“Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi.
Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai.
“Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak.
Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,” celoteh Anwar.
Soal Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar.
“Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata? Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,” ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan.
Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat.
Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya. Beliau diketahui wafat pada 12 April 2011 di usia 97 tahun. [Democrazy/DW]