'Jangan Paksa Masyarakat Batam Menerima Proyek Strategis Nasional'
Merespons kekerasan aparat keamanan terhadap warga masyarakat sipil di Pulau Rempang-Galang, Batam, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Kami mengecam kekerasan aparat kepolisian terhadap warga masyarakat Pulau Rempang-Galang, Kepulauan Riau. Ironisnya, ini bukan kekerasan yang pertama terkait pelaksanaan proyek strategis nasional yang dipaksakan sehingga mengancam hidup warga masyarakat. Ini menandakan proyek strategis nasional kembali bermasalah. Jangan paksa masyarakat.
“Protes warga dihadapi aparat dengan cara penangkapan serta penggunaan kekuatan berlebihan seperti pentungan dan gas air mata yang membahayakan orang dewasa namun juga anak-anak sekolah yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas mereka. Sulit untuk membenarkan bahwa gas air mata memasuki area sekolah karena tertiup angin.
“Tindakan eksesif ini jelas merendahkan harkat dan martabat manusia yang diakui hukum internasional dan hukum nasional. Tindakan ini melanggar hak warga untuk menyampaikan pendapat dengan damai, hak mereka untuk hidup tanpa takut dan hak atas kesejahteraan sosial mereka. Kekerasan ini juga merusak kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum dan pemerintah.”
“Kami menuntut agar Kapolri menghentikan penggunaan kekerasan yang tidak sah dan melanggar HAM warga Pulau Rempang-Galang. Kapolri harus segera membebaskan warga yang ditangkap dan menyeret mereka yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga ke muka hukum.
“Kami juga mendesak otoritas negara untuk mengedepankan konsultasi yang bermakna dengan warga setempat. Harus ada solusi yang adil dan berkelanjutan. Negara harus mengevaluasi rencana proyek-proyek strategis nasional, tidak saja di Pulau Rempang-Galang, namun juga di Nagari Air Bangis, Sumatra Barat, lalu Wadas, Jawa Tengah dan di tempat-tempat lain yang kini mengundang konflik dengan masyarakat setempat,” lanjut Usman.
LATAR BELAKANG
Amnesty International Indonesia bersama LBH Pekanbaru, YLBHI dan WALHI mencatat pada hari Kamis (7/9), sejak pagi hingga siang, terjadi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Polda Kepulauan Riau terhadap masyarakat di Pulau Rempang-Galang, Batam.
Sebanyak kurang lebih 1.000 personel diturunkan untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran atas rencana pembangunan kawasan “Rempang Eco City” seluas 17.000 Ha untuk dijadikan kawasan industri, perdagangan jasa, dan pariwisata. Proyek itu masuk dalam program strategis nasional tahun ini, sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023.
Ribuan warga setempat menolak pengukuran tersebut karena akan menggusur pemukiman mereka seluas 1.000 Ha.
Namun penolakan masyarakat direspons dengan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan. Kepolisian telah menggunakan gas air mata untuk membubarkan masyarakat yang ikut protes damai sambil memukuli mereka dengan pentungan.
Lalu terdapat setidaknya enam orang warga yang ditangkap dan puluhan lainnya luka – luka. Selain itu, ratusan murid sekolah yang sedang mengikuti kegiatan belajar terpaksa dihentikan dan dibubarkan setelah muncul gas air mata.
Setidaknya ada dua sekolah yang terkena tembakan gas air mata, yaitu SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang. P
ara siswa dua sekolah tersebut berhamburan keluar dari gedung sekolah dan mencari pertolongan setelah gas air mata memasuki ruang kelas mereka. Kepolisian menyebut gas air mata yang ditembakkan mereka saat membubarkan massa tertiup angin hingga sampai ke sekolah.
Kekerasan di Pulau Rempang-Galang ini mengulangi pola yang sama dalam beberapa konflik agraria, seperti yang terjadi di Padang dan Bandung Agustus lalu, saat aparat kepolisian secara tidak proporsional melakukan penangkapan dan menggunakan kekerasan fisik, termasuk memakai pentungan dan gas air mata, terhadap warga sipil yang memperjuangkan hak-hak mereka secara damai. [Amnesty]