DEMOCRAZY.ID - Sebuah video yang memperlihatkan puluhan siswa SMP dicukur oleh Bintara Pembina Desa (Babinsa), ramai di media sosial.
Dalam video, seorang Babinsa mencukur rambut siswa SMP di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dengan potongan asal-asalan.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Purwakarta, Purwanto, aksi Babinsa disinyalir sebagai bentuk kepedulian kepada anak-anak agar lebih disiplin.
"Itu termasuk pembinaan, mitigasi banyak siswa yang terindikasi melakukan hal yang tidak baik, jadi (Babinsa) diundang untuk memberikan pembinaan," kata Purwanto dikutip dari Tribun, Kamis (7/9/2023).
Pihaknya menjelaskan, terdapat program yang mengharuskan TNI-Polri hingga pemerintah masuk ke dalam ranah sekolah.
Mereka secara rutin diundang untuk memberikan pembinaan kepada para siswa terutama siswa yang memiliki catatan kenakalan remaja.
Pihak sekolah minta maaf
Dikutip dari Tribun Priangan, Kepala SMPN 1 Maniis, Yana Heryana mengatakan, pencukuran rambut yang dilakukan oleh anggota Babinsa tersebut berlangsung secara spontan.
Pihaknya menyebutkan, saat itu anggota Babinsa itu dipanggil sebagai pembina upacara.
Saat pelaksanaan upacara, diduga ada siswa berambut gondrong sehingga Babinsa secara spontan melakukan pemotongan rambut sebagai bentuk pembinaan.
Dirinya mengakui bahwa pembinaan yang dilakukan oleh pihak sekolah dan Babinsa dengan melakukan pencukuran rambut siswa itu kurang tepat.
"Menurut kami dari pihak sekolah dan saya sebagai kepala sekolah secara terbuka meminta maaf atas kejadian tersebut. Kami juga sudah sampaikan maaf tersebut ke wali murid atau orangtua siswa secara terbuka di sekolah pada hari ini, Rabu (6/9/2023) siang," kata Yana.
Pengamat pendidikan: mereka tidak punya hak
Pengamat pendidikan Ina Liem mengatakan, bentuk hukuman berupa kekerasan fisik, termasuk pembotakan rambut menunjukkan kegagalan sekolah mengembangkan budaya kesadaran taat aturan.
Menurutnya, sekolah memiliki aturan dan mekanisme ketika siswa melakukan pelanggaran. Pihaknya menyayangkan adanya hukuman potong rambut yang dilakukan Babinsa tersebut.
"Bentuk hukuman kan bisa saja tidak boleh masuk gerbang sekolah, diskors, dikurangi nilai, dan lainnya. Kalau pemaksaan ini namanya kekerasan apalagi dilakukan oleh Babinsa," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/9/2023).
Menurutnya, Babinsa adalah pihak di luar struktur pendidikan di sekolah, dan mereka tidak punya hak mencukur rambut siswa.
"Bukan era Dwifungsi ABRI"
Selain itu, pihak sekolah juga dinilai salah membiarkan pihak luar melakukan kekerasan terhadap siswa. Sebab menurutnya, tugas sekolah menciptakan lingkungan yang aman.
"Misalkan ada pihak-pihak lain yang ingin berbuat kekerasan terhadap anak-anak kita di sekolah dengan alasan mendidik karena paham-paham tertentu yang ingin dijejalkan, apakah sekolah boleh memfasilitasi? Ini bukan era dwifungsi ABRI," jelas dia.
Menurutnya, peristiwa tersebut juga menunjukkan para pendidik yang tidak paham psikologi pendidikan dan tidak paham usia perkembangan anak.
Sebab usia remaja adalah usia di mana anak-anak mencari jati diri, sangat peduli dengan penampilan, sering tidak percaya diri dengan penampilan, bahkan terkadang berusaha menutupi wajah dengan rambut.
Pembotakan tanpa persetujuan siswa dan orangtua dinilai dapat mencederai proses pengembangan diri remaja.
"Saya rasa yang banyak terjadi belakangan intinya bukan untuk mendidik mental baja," kata dia.
Babinsa bisa dilaporkan
Sementara menurut pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma, Babinsa tersebut harus dilaporkan ke polisi militer (Pomdam) agar dihukum dengan keras karena melakukan tindakan sewenang-wenang di lingkungan sekolah.
"Dia harus ditindak dengan tegas atas perbuatan sewenang-wenangnya tersebut. Perbuatannya tersebut sama sekali di luar tugas dan kewenangannya," kata Satria.
Selain itu, menurutnya, kepala sekolah dan guru juga harus dipanggil dan diberi pembinaan agar paham tugas dan wewenangnya.
"Mereka seharusnya melindungi siswa mereka dari perbuatan sewenang-wenang dari siapa pun apalagi itu terjadi di jam sekolah dan oleh pihak yang sama sekali tidak berwenang melakukan pembinaan pada siswa," tuturnya. [Democrazy/Kompas]