DEMOCRAZY.ID - Anggaran Pemilu 2024 untuk KPU dan Bawaslu yang terbatas untuk satu putaran pilpres telah menciptakan ‘ketidakpastian di publik’ dan spekulasi liar ‘jangan-jangan pemilu ditunda’, kata analis politik.
Keterbatasan anggaran Pemilu 2024 juga disebut akan menimbulkan persoalan ke depan. Musababnya, bakal capres-cawapres yang akan berlaga kemungkinan lebih dari tiga pasangan.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan Kementerian Keuangan pasti menyiapkan tambahan anggaran jika berlangsung putaran kedua.
Namun, Direktur Puskapol di Universitas Indonesia, Hurriyah menilai pernyataan ini sebenarnya tidak perlu dan “ambigu”.
“Jangan sampai persoalan politik anggaran ini dimainkan. Kalau kebutuhan anggarannya tidak memadai di tengah jalan. Ini yang berbahaya,” katanya.
KPU pun mempersiapkan alokasi anggaran pilpres putaran kedua dalam DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) KPU 2024.
Pangkal persoalan adalah ketika DPR menyetujui pagu anggaran Pemilu 2024 untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp27,39 triliun dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebesar Rp11,6 triliun.
Padahal, dibutuhkan kurang lebih Rp22 triliun bagi KPU dan Bawaslu untuk mencukupi pilpres hingga putaran kedua. Adapun alokasi anggaran tambahan tersebut belum ada kepastian.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, menilai situasi ini menciptakan ketidakpastian dan spekulasi liar di publik tentang penyelenggaran Pemilu 2024.
“Ini kan memunculkan persepsi macam-macam di publik. Apakah pemerintah tidak punya komitmen untuk menyelenggarakan pemilu. Ini khawatir ada dugaan jangan-jangan pemilu ini jadinya ditunda dengan alasan anggaran nggak cukup,” kata Hurriyah kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/09).
Spekulasi lainnya: “Ini adalah upaya untuk membuat agenda setting, biar pilpresnya satu putaran saja, nggak perlu sampai dua putaran biar ada efisiensi anggaran. Menurut saya, nggak benar kondisi seperti ini.”
Hurriyah berpendapat situasi ini menjadi “kejutan sekaligus kekhawatiran” terbaru bagi publik setelah rangkaian apa yang ia sebut sebagai “disrupsi proses demokrasi elektoral”.
Sejumlah hambatan dalam proses penyelenggaran pemilu yang dimaksud antara lain:
Isu tiga periode
Isu ini berkembang pada November 2019, ketika seorang anggota DPR dari Partai NasDem menginginkan jabatan presiden diperbolehkan 3x5 tahun melalui usulan amandemen UUD 1945.
Namun, isu ini dibantah Presiden Joko Widodo dengan menyebut, "Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, yang ketiga ingin menjerumuskan," katanya.
Penundaan pemilu
Wacana menunda pemilu awalnya dihembuskan Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia, pada Januari 2022 yang disambut sejumlah kalangan elite politik.
Hal ini berlanjut lebih serius di meja persidangan tatkala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda tahapan pemilu ke tahun 2025 dalam sebuah gugatan Partai Prima. Tapi putusan ini dibatalkan di tingkat pengadilan tinggi.
Seorang pakar hukum tata negara mengatakan hal ini sebagai upaya terencana untuk menunda pemil
Perubahan sistem proporsional
Sejumlah kader PDI Perjuangan menggugat ketentuan sistem pemilu secara terbuka ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai berdampak pada konflik internal parpol. Namun, MK menolak gugatan ini.
Sebelum putusan MK, polemik ini diwarnai tudingan pakar hukum tata negara, Denny Indrayan,a bahwa MK akan menerima gugatan tersebut.
Syarat pencalonan usia capres-cawapres
Gugatan ini masih berlangsung di MK. Para pemohon mengatakan syarat usia paling rendah 40 tahun capres-cawapres bersifat “diskriminatif” karena dalam aturan lain kepala daerah disyaratkan calon berusia paling rendah 30 tahun.
Deretan persoalan ini dianggap sebagai disrupsi oleh Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah.
Terbaru adalah anggaran Pilpres 2024 yang hanya cukup untuk putaran pertama.
“Nah, jangan sampai kemudian upaya politik gagal, upaya legal gagal, terus sekarang pakai cara administratif, dipakainya di anggaran,” jelas Hurriyah.
Publik dirugikan
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, mengatakan anggaran pemilu yang dibatasi satu putaran pilpres dapat merugikan masyarakat.
“Jangan sampai, citra para pihak yang terkesan belum mempersiapkan anggaran putaran kedua adalah diduga sebagai modus voter suppression (penindasan terhadap hak pilih masyarakat) yang terjadi pada pelaksanaan pemilu tahun 2024,” kata Mita—sapaan Nurlia Dian Paramita.
Pada prinsipnya, kata Mita, pemerintah dan DPR berkewajiban menetapkan alokasi anggaran pemilu sampai tuntas. Artinya harus ada kepastian seluruh pembiayaan pemilu.
“Saya kira amanat konstitusi sangat jelas bahwa itu adalah tanggung jawab Presiden dan DPR,” kata Mita.
Peluang pilpres putaran kedua
Kata Mita, dalam pemilu di Indonesia, putaran kedua berpotensi sangat besar jika diikuti lebih dari dua pasangan capres-cawapres.
Dalam perkembangan politik dewasa ini yang sudah nampak di publik adalah tiga bakal capres: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Berdasarkan Pasal 6A UUD 1945 khususnya ayat (3) dan ayat (4), capres-cawapres terpilih pada intinya harus mendapatkan suara lebih dari 50% yang tersebar minimal 20% di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi.
Jika syarat ini tidak tercapai, maka dilaksanakan putaran kedua. Pilpres putaran kedua diikuti capres-cawapres yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.
“Potensi dua putaran tersebut saya kira sudah dapat diprediksi setelah penetapan capres-cawapres [oleh KPU] yang rencananya dilakukan pada 13 November 2023,” lanjut Mita.
Apakah pernah terjadi pilpres dua putaran?
Pilpres dua putaran sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu 2004. Pada putaran pertama diikuti lima pasangan capres-cawapres. Lalu, putaran kedua tersisa pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla—pasangan yang kemudian menang pemilu.
“Artinya jika pemilu 2024 terdapat dua putaran dan bermasalah terhadap anggarannya maka ini patut diduga ada unsur kesengajaan yang mencoba mengabaikan amanat konstutusi,” kata Mita.
Persoalannya makin rumit, karena dalam Peraturan KPU tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024, tahapan pilpres putaran kedua dimulai dengan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih pada 22 Maret – 25 April 2024.
Dengan kata lain, penyelenggara pemilu akan berkejaran dengan waktu untuk mempersiapkan putaran kedua setelah putaran pertama 14 Februari 2024.
Jika anggaran pilpres putaran kedua tidak segera disiapkan maka akan berdampak pada kesiapan penyelenggara dalam melaksanakan tahapan putaran kedua.
Lalu, kesiapan logistik pemilu putaran kedua yang akan berpengaruh terhadap penggunaan hak pilih masyarakat, kata Mita.
Di sisi lain, Anggota KPU, Yulianto Sudrajat mengatakan pihaknya membutuhkan anggaran Rp17,3 triliun yang rencananya digunakan untuk belanja kegiatan pilpres kedua.
“Hasil pembahasan dengan Kementerian Keuangan dan Bapennas bahwa setelah ada putaran kedua Pilpres, maka akan dialokasikan dalam Dipa (daftar isian pelaksanaan anggaran) KPU 2024 kekurangan anggaran tersebut,” kata Yulianto dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/09).
Apa kata Presiden Joko Widodo?
Sebelumnya, Presiden Jokowi angkat bicara mengenai polemik anggaran Pemilu 2024.
“Kalau satu putaran, ya satu putaran. Kalau dua putaran, ya dua putaran,” kata Presiden Jokowi kepada wartawan, Rabu (14/09).
Terkait kebutuhan tersebut, mantan gubernur DKI jakarta meminta menanyakannya kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani. ”Ya, tanya Menteri Keuangan, pasti disiapin,” kata Presiden Jokowi.
Namun, Direktur Puskapol di Universitas Indonesia, Hurriyah menilai pernyataan ini sebenarnya tidak perlu dan “ambigu”.
“Jangan sampai persoalan politik anggaran ini dimainkan. Kalau kebutuhan anggarannya tidak memadai di tengah jalan. Ini yang berbahaya,” katanya. [BBC]