POLITIK

'Bangun Dinasti Politik, Jokowi Aktor Kemunduran Demokrasi'

DEMOCRAZY.ID
September 27, 2023
0 Komentar
Beranda
POLITIK
'Bangun Dinasti Politik, Jokowi Aktor Kemunduran Demokrasi'


'Bangun Dinasti Politik, Jokowi Aktor Kemunduran Demokrasi'


Ditetapkannya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dimaknai sebagai manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengukuhkan dinasti politiknya jelang hengkang dari kursi kepala negara.


Pengamat politik Citra Institute, Efriza mengamati, isu dinasti politik Presiden Jokowi semakin menguat pasca Kaesang didaulat PSI menjadi Ketum.


Menurutnya, upaya Jokowi membangun dinasti politik kentara dari pengangkatan Kaesang yang terbilang instan.


Hal itu berbanding terbalik dengan dirinya yang meniti karir dari bawah dan memerlukan waktu bertahun-tahun.


"Dia melupakan bahwa dia tokoh politik yang sukses di kepemimpinan dari daerah dan nasional," ujar Efriza, Rabu (27/9).


Efriza memandang, Jokowi berkontribusi dalam penurunan kualitas demokrasi Indonesia pasca Reformasi 98. Pasalnya, dia justru melanggengkan dinasti politik melalui suksesi karir politik anak-anaknya.


"Dia juga menjadi aktor kemunduran demokrasi, bahkan tokoh penguasa yang menghadirkan kembali wajah dinasti politik," tuturnya.


Oleh karena itu, dosen ilmu pemerintahan Universitas Pamulang (UNPAM) Serang itu menyimpulkan, fenomena politik keluarga Jokowi hari ini menunjukkan wajah demokrasi yang bobrok.


"Ini seperti hasrat politik keluarga dengan model nepotisme, inilah yang diabaikan oleh dirinya dalam berpolitik," demikian Efriza menambahkan


'Fenomena Kaesang, Anthony Budiawan: Politik Semakin Menjijikkan!'


Ditunjuknya putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi sorotan banyak kalangan.


Sebelumnya, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, juga melontarkan kritik pedas perihal semua partai untuk berhati-hati dan waspada.


“Ini tentu menjadi kewaspadaan kami semua partai-partai ini, di mana di belakang Mas Kaesang adalah presiden,” kata Cak Imin akrab disapa, di Sidoarjo, Selasa (26/9).


Terkait itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut politik saat ini semakin menjijikkan.


“Politik semakin menjijikkan. Untuk menyelamatkan diri, semua jalan kotor ditempuh. Gayung bersambut. Ada yang siap melacur. Menjual kedudukan,” tulis Anthony dalam akun media sosial X milik pribadinya, @AnthonyBudiawan, Rabu (28/9).


“Tapi semua itu akan sisa-sia. Rakyat sudah muak dan murka. Siap menerkam para jahanam penghisap darah rakyat,” lanjutnya.


Besar kemungkinan ditunjuknya Kaesang sebagai Ketum PSI karena pengaruh Jokowi. Mantan Walikota Solo itu terlihat ingin membentuk dinasti politik pasca dirinya tak lagi menjabat presiden.


Pengamat: 'Dinasti Politik Jokowi Sempat Dilarang UU, Lalu Dimentahkan MK!'


Isu dinasti politik kembali menerpa keluarga Presiden Joko Widodo setelah disentil politisi senior PDIP, Panda Nababan lantaran menganggap karier anak-anaknya instan sebagai kepala daerah.


Isu dinasti politik ini sejatinya bukan hal baru dialamatkan kepada keluarga Presiden Jokowi. 


Sejak resmi terlibat politik, putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Afif Nasution memang kerap diterpa isu tak sedap.


Lantas, bagaimana memaknai praktik dinasti politik jika merujuk pada undang-undang?


Dekan FISIP Universitas Sutomo, Yusak Farchan mengurai, aturan mengenai dinasti politik pernah diatur dalam UU Pilkada.


“Norma hukum yang melarang politik dinasti dalam Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015,” ujar Yusak, Kamis (6/7).


Founder Citra Institute ini menjelaskan, norma tersebut berbunyi, “WNI yang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil walikota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.


Pengertian dari bunyi aturan itu adalah membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana maju dalam pilkada.


“Tetapi itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, 2015 lalu,” sambungnya menjelaskan.


Putusan MK yang kala itu dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menurut Yusak, menjadikan dinasti politik di Indonesia tak lagi melanggar UU.


“Jadi sah-sah saja Presiden Jokowi membangun politik dinasti,” demikian Yusak. 


Sindir Dinasti Jokowi, Rizal Ramli: Tidak Pernah Berjuang, Tapi Ketika Berkuasa Merusak Demokrasi!


Politik dinasti Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik. Terlebih setelah Jokowi diyakini telah memberi restu kepada anak bungsunya, Kaesang Pangarep untuk maju menjadi calon Walikota Depok.


Padahal sejarah sudah mencatat bahwa Jokowi adalah presiden pertama anak dan menantunya menjadi walikota di saat bersamaan.


“Nggak tahu malu,” begitu tokoh senior, DR. Rizal Ramli menanggapi dinasti yang tengah dirajut Jokowi, lewat akun Twitter pribadinya, Senin pagi (3/7).


Menurut Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, apa yang dipertontonkan keluarga Jokowi akan merusak demokrasi. 


Sebab, Jokowi sebagai pemimpin negeri justru memberi contoh bagaimana dinasti dibentuk oleh penguasa.


“Tidak pernah berjuang untuk demokrasi, tetapi ketika berkuasa merusak demokrasi dan membangun dinasti bisnis-politik,” sambungnya.


Diingatkan Rizal Ramli, banyak raja nusantara yang telah berkorban dalam membentuk republik. 


Mereka menanggalkan dinasti kekuasaan yang dimiliki demi untuk melebur dalam NKRI.


Jokowi seolah menjadi antitesa perjuangan raja-raja nusantara itu. Sebab, mantan walikota Solo itu justru tengah berpikir ke belakang dengan menyiapkan kerajaannya sendiri.


“Padahal dulu raja-raja berkorban untuk membentuk republik. Eh, ndak tahu diri, malah mau bikin kerajaan! Norak,” demikian Rizal Ramli. 


'Mengapa Politik Dinasti Jokowi Berbahaya?'



GIBRAN Rakabuming Raka, Bobby Nasution, dan yang terakhir Kaesang Pangarep semestinya belajar dari Joko Widodo dalam menapaki karier politik.


Menjadi wali kota, gubernur, lalu presiden, Jo­ko­­wi memulai dari nol. Ia bukan orang partai, bukan dari keluarga penguasa, bukan anggota militer atau pemilik media, dan bukan bagian dari birokrasi—sejumlah modal dan kemudahan bagi seseorang yang ingin meraih kekuasaan.


Tak bisa ditolak, Gibran Rakabuming Raka di Solo dan Bobby di Medan menang mudah dalam pemilihan kepala daerah pada 2020 karena figur Jokowi. 


Kaesang, yang bersiap berlaga dalam pilkada Depok di Jawa Barat tahun depan, diakui atau tidak, akan mendapat manfaat yang sama. Jokowi sudah memberi restu atas rencana pencalonan anak bungsunya itu.


Jokowi adalah presiden pertama yang memiliki anak dan menantu wali kota. Dua periode menjadi presiden, Jokowi tak belajar dari Jokowi: kekuasaan merupakan amanah yang diperjuangkan dari bawah.


Setelah tuntutan masa jabatan presiden tiga periode dan gagasan penundaan pemilihan umum meredup, memberi jalan bagi sanak keluarga menduduki posisi kepala daerah tampaknya pilihan lain bagi Jokowi agar tetap diperhitungkan di panggung politik nasional.


Apalagi Gibran dan Bobby kini bersiap “naik kelas”. Gibran digadang-gadang bakal maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta atau Jawa Tengah. 


Nama Gibran santer disebut bakal mendampingi calon presiden Prabowo Subianto, kandidat yang berpeluang besar mendapat sokongan dari Jokowi.


Kabar itu sejalan dengan cara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia minimal yang mengganjal Gibran jadi calon wakil presiden. 


PSI juga partai yang menjadi inisiator pencalonan Kaesang di Depok. Menantu Jokowi, Bobby, juga berhasrat maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara.


Presiden Jokowi bisa saja berkilah keikutsertaan anak dan menantunya dalam pemilihan kepala daerah tak menyalahi aturan dan merupakan hak setiap warga negara. 


Namun, tak bisa dimungkiri, ketika seorang presiden menjadi patron bagi sanak keluarganya yang maju dalam pilkada, mereka akan mendapat keuntungan dan kemudahan dibanding kandidat lain.


Mobilisasi aparatur sipil negara, warisan jaringan politik, dan sokongan finansial adalah pelbagai “keunggulan” yang dimi­liki kandidat kepala daerah dari dinasti politik. 


Dalam sistem birokrasi patron-klien, restu Jokowi terhadap anak-anaknya bisa diterjemahkan sebagai perintah kepada birokrasi dan aparatur pemerintah lain agar mendukung.


Gibran di Solo dan Bobby di Medan mungkin bukan tak punya prestasi. Di Solo kabarnya kerukunan umat beragama makin baik. Di Medan, Bobby lumayan disukai masyarakat. Tapi itu tak cukup.


Sejumlah studi menyebutkan dinasti politik juga dekat dengan korupsi. Kekuasa­an yang dihimpun di tangan satu keluarga mem­buka sikap permisif pemegang kekuasa­an untuk melanggar tata kelola.


Bermodal populisme, salah satunya di­ukur dari tingkat kepuasan kerja yang tinggi versi sejumlah lembaga survei, Jokowi berhasil menjadikan anak dan menantunya sebagai pesona elektoral bagi partai politik yang gagal menjalankan meritokrasi kader.


Partai-partai yang memperebutkan anak dan me­nantu Presiden juga berharap mendapatkan efek ekor jas popularitas Jokowi, yang tetap mendapatkan skor tinggi dalam sejumlah survei. Alih-alih menjadi alat demokrasi, partai-partai kian terbenam dalam kubangan politik elektoral.


Kondisi ini diperparah oleh permakluman di kalangan pemi­lih bahwa dinasti politik merupakan konsekuensi demokrasi. 


Riset Nagara Institute menemukan bahwa 57 kandidat dari dinasti politik dipilih rakyat dalam pilkada 2020, termasuk Gibran dan Bobby. 


Dinasti politik Jokowi tak hanya mengoyak etika politik, tapi juga sekaligus merusak demokrasi. [Democrazy/RMOL]

Penulis blog