6 Fakta Pulau Rempang Yang Warganya Tergusur Pabrik Milik Tomy Winata - DEMOCRAZY News
POLITIK

6 Fakta Pulau Rempang Yang Warganya Tergusur Pabrik Milik Tomy Winata

DEMOCRAZY.ID
September 08, 2023
0 Komentar
Beranda
POLITIK
6 Fakta Pulau Rempang Yang Warganya Tergusur Pabrik Milik Tomy Winata


6 Fakta Pulau Rempang yang Warganya Tergusur Pabrik Milik Tomy Winata


Masyarakat adat Pulau Rempang, Kota Batam bentrok dengan aparat keamanan gabungan pada Kamis, 7 September 2023, sekitar pukul 10.00 WIB. Penyebabnya karena aparat memaksa masuk wilayah Rempang untuk memasang patok tata batas lahan pembangunan Rempang Eco-City. Masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan memblokir jalan dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.


Aksi pemblokiran jalan tersebut terkait pembangunan Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang akan dijadikan kawasan ekonomi baru. Pemerintah berencana merelokasi masyarakat ke wilayah lain, namun masyarakat menolak. 


Berikut adalah fakta-fakta Pulau Rempang. 


1. Letak Geografis Pulau Rempang


Pulau Rempang adalah salah satu pulau di Kecamatan Galang yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Riau. Pulau Rempang memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi. Pulau Rempang terletak sekitar 3 km di sebelah tenggara Pulau Batam.




Penduduk Rempang berjumlah 7.500 hingga 10 ribu jiwa yang mayoritas mata pencahariannya sebagai nelayan dan pelaut. Pulau Rempang termasuk kategori pulau kecil berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Pulau Rempang juga masuk kawasan hutan konservasi taman buru.


2. Kawasan Industri Pulau Batam


Pada Tahun 1992 melalui Keppres Nomor 28 Tanggal 19 Juni 1992, pemerintah melakukan penambahan wilayah kawasan industri Pulau Batam. Hal itu dilakukan karena semakin meningkatnya usaha di Pulau Batam dan terbatasnya kemampuan serta daya dukung lahan yang tersedia di daerah industri Pulau Batam.


Pulau Rempang dan Pulau Galang kemudian masuk dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan status kawasan Berikat. Kawasan yang tersebut lalu dikenal dengan sebutan Barelang  yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, Galang.


Untuk menghubungkan Pulau Rempang dan Galang, pemerintah membangun enam jembatan untuk menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton, Pulau Tonton dengan Pulau Nipah, Pulau Nipah dengan Pulau Setokok, Pulau Setokok dengan Pulau Rempang, dan Pulau Rempang dengan Pulau Galang. Jika dihitung secara keseluruhan, maka total panjang keenam jembatan itu adalah 1.568 meter.


3. Warga Asli Pulau Rempang dan Pemukiman Tua


Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua dan pemukiman warga Asli. Adapun luas total 16 kampung tua itu tidak sampai 10 persen dari luas Pulau Rempang. Warga di kampung tua tersebut terdiri dari beberapa suku, diantaranya suku Melayu, suku Orang Laut dan suku Orang Darat.


Salah satu warga asli Pulau Rempang yakni Gerisman Ahmad mengatakan warga di ketiga suku itu telah bermukim di pulau Rempang sejak 1834. “Kami sudah lama tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia berdiri,” tutur Gerisman, mengutip Koran Tempo, Jumat, 8 September 2023.


4. Suku Orang Darat Di Pulau Rempang


Melansir laman Kebudayaan Kemdikbud, suku Orang Darat atau atau Orang Oetan (hutan) merupakan penduduk asli Pulau Batam, khususnya di Pulau Rempang. Pada tahun 1930, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink mengunjungi mereka di Pulau Rempang. Kunjungannya itu tertulis dalam artikel berjudul "Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930".


Suku Orang Darat diyakini mirip dengan Orang Jakun, suku asli Johor dan Melaka. Namun, legenda menyebutkan bahwa mereka berasal dari Lingga, meskipun asal-usul ini tidak jelas. Orang Darat tinggal dalam pondok sederhana tanpa dinding dan hanya atap. Meskipun ada yang tinggal di Pulau Batam, seiring waktu, mereka tampaknya telah bercampur dengan Orang Melayu.


Ketika P. Wink mengunjungi Pulau Rempang, ia mencatat ada delapan laki-laki, dua belas wanita, dan enam belas anak-anak suku Orang Darat. Mereka mencari nafkah dari bercocok tanam dan hasil hutan, serta mencari makanan laut saat air pasang. Sayangnya, populasi Orang Darat semakin menurun, dengan hanya beberapa keluarga yang tersisa pada tahun 2014.


Meskipun ada perhatian dari pemerintah, banyak dari mereka memilih tetap hidup terisolasi atau bermigrasi ke tempat lain. Beberapa tetua masih tinggal di kampung mereka di Dusun Sungai Sadap, hidup sederhana dengan fokus pada pertanian.


5. Pulau Rempang jadi Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023


Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 dan direncakan menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata bernama Rempang Eco-City. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 hektare itu digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik Tommy Winata.


Rempang Eco City ditargetkan bisa menarik nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun pada tahun 2080. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau BP Batam ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi tersebut dan akan merelokasi seluruh penduduk Rempang.


6. Warga Pulau Rempang Tergusur Di Kampung Sendiri


Masyarakat adat yang tinggal di 16 kampung tua di Pulau Rempang menolak keras relokasi yang dilakukan untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City. Mereka menganggap kampung-kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, mereka menentang untuk direlokasi.


Beberapa warga yang secara vokal menolak relokasi, termasuk Gerisman Ahmad, dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan berbagai kejahatan, seperti pidana pungutan liar di pantai, merusak terumbu karang, dan pembabatan hutan.


Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Edy Kurniawan mengatakan, upaya pemanggilan warga Rempang yang menolak relokasi oleh Polda Kepri adalah upaya intimidasi dan kriminalisasi. Menurutnya, ini merupakan pola yang sering terjadi dalam proyek pembangunan skala besar di Indonesia. Mulai dari penguasaan lahan dalam kawasan hutan, menggunakan pasal palsu, hingga penyalahgunaan tata ruang dan korupsi. 


Sumber: TEMPO

Penulis blog