AGAMA GLOBAL ISLAMI TRENDING

Terungkap Alasan Marak Al-Qur'an Dibakar di Swedia & Denmark

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
AGAMA
GLOBAL
ISLAMI
TRENDING
Terungkap Alasan Marak Al-Qur'an Dibakar di Swedia & Denmark


DEMOCRAZY.ID - Beberapa waktu belakangan ini, Swedia dan Denmark menjadi sorotan masyarakat Islam di dunia. Sebab, kedua negara tersebut "rutin" menjadi lokasi aksi pembakaran Al-Qur'an.


Terbaru, aksi pembakaran kitab suci agama Islam kembali dilakukan oleh imigran asal Irak, Salwan Momika, di depan Parlemen Swedia, Senin (30/7/2023). Aksi tersebut adalah ketiga kalinya Momika membakar dan menistakan Al-Qur'an.


Sementara itu, aksi pembakaran Al-Qur'an dilakukan selama tiga hari berturut-turut oleh kelompok anti-Islam, Danske Patrioter. Danske Patrioter melakukan aksi tersebut di depan Kedutaan Turki ke Kopenhagen, Denmark.


Akibatnya, banyak negara Muslim yang murka. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yaman, Muhammad Sharif al-Mutahar, mengumumkan boikot produk Swedia pada awal bulan ini. 


Selain itu, Sekretaris Dewan Tertinggi Koordinasi Ekonomi Iran, Mohsen Rezaei, menyerukan boikot serupa pada 23 Juli lalu.


Beberapa negara juga telah memanggil duta besar Denmark untuk memberikan penjelasan terkait aksi pembakaran tersebut. 


Bahkan, patron negara muslim Timur Tengah, Arab Saudi, meminta Kopenhagen untuk segera menghentikan aksi yang memicu kebencian antar agama.


Lantas, apa alasan pembakaran Al-Qur'an marak terjadi di kedua negara tersebut?


Swedia dan Denmark adalah dua negara yang paling liberal dan sekuler di dunia. Kebebasan berbicara diabadikan dalam konstitusi mereka.


Kedua negara ini pun tidak memiliki undang-undang (UU) terkait penodaan agama. Dengan demikian, menghina agama atau menodai teks-teks agama, salah satunya Al-Qur'an tidak dinilai sebagai tindakan ilegal.


"Perlindungan Swedia, di bawah konstitusi Swedia, untuk kebebasan berekspresi, adalah perlindungan terkuat di dunia, bahkan lebih dari amandemen pertama di Amerika Serikat," kata profesor hukum di Universitas Stockholm, Marten Schutlz, dikutip dari CNN International, Sabtu (5/8/2023)


"Kebebasan berbicara hampir selalu menjadi prioritas pertama dalam semua konflik kepentingan atau nilai," tambahnya.


Di Swedia, polisi hanya dapat menolak izin dengan alasan keamanan. Aturan ini pernah diuji saat otoritas polisi Swedia berusaha mencegah Momika melakukan aksi pembakaran Al-Qur'an dengan menolak izinnya pada Februari yang kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Banding Swedia.


"Polisi secara hukum hanya diperbolehkan untuk mengatakan "Tidak" jika mereka tidak dapat menjamin keamanan di demonstrasi itu sendiri. Mereka tidak dapat memperhitungkan perspektif politik yang lebih luas," kata ilmuwan politik di Universitas Mid Swedia, Sofie Blomback.


Saat ini, pembakaran kitab suci telah menjadi bumerang bagi Denmark dan Swedia. Menteri Luar Negeri Denmark, Lars L￸kke Rasmussen, mengatakan bahwa Kopenhagen berupaya membuat aturan yang melarang aksi semacam itu.


"Itulah mengapa kami telah memutuskan di pemerintahan bahwa kami akan melihat bagaimana, dalam situasi yang sangat khusus, dapat mengakhiri ejekan terhadap negara lain, yang bertentangan langsung dengan kepentingan dan keamanan Denmark," kata Rasmussen kepada penyiar publik Denmark DR yang diberitakan Associated Press.


Rasmussen mengatakan, Kabinet Perdana Menteri, Mette Frederiksen, bertekad untuk menemukan "alat hukum" yang melarang tindakan semacam itu tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Namun, ia mengakui langkah tersebut tidak mudah.


"Harus ada ruang untuk kritik agama dan kami tidak berpikir untuk memasukkan kembali pasal penodaan agama. Namun ketika Anda berdiri di depan kedutaan asing dan membakar Al-Qur'an atau membakar gulungan Taurat di depan kedutaan Israel, itu tidak ada gunanya selain untuk mengejek," jelasnya.


Perdana Menteri (PM) Swedia, Ulf Kristersson, mengatakan bahwa pemerintahnya sedang menganalisis situasi hukum terkait penodaan Al-Qur'an dan kitab suci lainnya. Mengingat tindakan semacam itu menimbulkan permusuhan terhadap Swedia.


"Kami berada dalam situasi kebijakan keamanan paling serius sejak Perang Dunia Kedua," kata Kristersson. [Democrazy/CNBC]

Penulis blog