AGAMA GLOBAL ISLAMI TRENDING

Ramai Warga Palestina Malah Jadi Tentara Israel, Kok Bisa?

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
AGAMA
GLOBAL
ISLAMI
TRENDING
Ramai Warga Palestina Malah Jadi Tentara Israel, Kok Bisa?


DEMOCRAZY.ID - Konflik yang mengakar antara Palestina dan Israel seakan tidak ada habisnya. Hal itu ada kaitannya pula dengan dominasi Yahudi di Israel dan Muslim di Palestina. 


Namun apa jadinya bila warga Muslim justru menjadi tentara Israel untuk memerangi Palestina?


Bagaikan memerangi saudara sendiri, ternyata ada ribuan Muslim yang bergabung menjadi tentara Israel untuk memerangi Palestina.


Sekitar dua sampai tiga dekade lalu hampir tidak mungkin bagi orang Arab-Israel memilih militer sebagai jalan berkarir.


Namun sekarang inilah fakta yang mungkin membuat orang terkejut dan tidak bisa diterima setiap orang: mereka yang mayoritas Muslim justru berbondong-bondong mendaftar tentara Israel.


Sebagaimana dipaparkan The Jerussalem Post, data resmi pada 2020 yang dihimpun IDF mencatat bahwa ada 606 orang dari Arab-Muslim yang bergabung. 


Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2019 sebesar 489 orang dan tahun 2018 sejumlah 436 orang.


Dalam laporan khusus Al Majalla berjudul "Exclusive: IDF - 'Our Mission is to Enlist as Many Israeli Arabs as we can'" (2022), diketahui IDF berhasil merekrut 130-350 suku Badui yang mayoritas Muslim dan 40-100 tentara dari berbagai desa dan kota berpenduduk mayoritas Muslim, untuk menjadi tentara. 


Di sektor kepolisian juga tercatat hal sama, yakni 20% dari pendaftar pada tahun 2021 adalah orang Muslim.


Bahkan, BBC pada 2016 pernah menuliskan peningkatan jumlah tentara dari komunitas Arab-Israel membuat IDF membentuk tim bernama Gadsar. 


Gadsar beranggotakan sekitar 500 prajurit keturunan Arab, baik beragama Islam atau Kristen. Mereka bertugas di kawasan Tepi Barat, salah satu titik panas konflik Israel-Palestina.


Pemerintah Israel sebetulnya tidak mewajibkan komunitas Arab-Israel dan Badui ikut wajib militer. Namun, pemerintah juga tidak menutup pintu bagi mereka apabila ingin bergabung angkat senjata. 


Karena inilah mereka bisa dikatakan secara sukarela dan tanpa paksaan bergabung menjadi anggota IDF.


Kenyataan ini memang kontradiktif dengan garis perjuangan yang dilakukan mayoritas Muslim dan negara Arab untuk mendukung kedaulatan Palestina. 


Artinya, dengan bergabung menjadi tentara Israel secara tidak langsung mereka juga mematahkan perjuangan Palestina. Atau mereka juga secara tidak langsung menjadi 'mesin pembunuh' penduduk Palestina.


Atas dasar inilah, keputusan menjadi tentara kerap dihujani kritikan dari rekan satu komunitas.


Meski begitu, keputusan menjadi tentara Israel juga tak bisa disalahkan karena bagi mereka inilah jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan. 


Sebab, selama hidup di Israel mereka kerap mengalami ketidaksetaraan ekonomi yang berujung pada tingginya kemiskinan dan pengangguran.


Riset terbaru oleh Ensherah Khory dan Michal Krumer-Nevo berjudul "Poverty in Arab-Palestinian society in Israel: Social work perspectives before and during COVID-19" (2023) menyebut 45,3% keluarga dan 57,8% anak-anak dari komunitas Arab-Palestina (nama lain Arab-Israel) berada di bawah garis kemiskinan.


Beranjak dari situasi sulit seperti, maka logis apabila mereka mencari pekerjaan terbaik, dan tentara adalah salah satu pilihannya. 


Apalagi, pemerintah Israel juga secara serius merekrut tentara dengan menjanjikan beragam kemudahan, dari mulai kesetaraan hingga kesejahteraan.


Dalam riset peneliti University of Pennsylvania Miriam Minsk berjudul "Saluted for Service: Benefits of Arab-Israeli Enlistment in the Israel Defense Forces" (Journal on Jewish Thought, Jewish Culture, and Israel, 2020), IDF memberikan peluang kerja lebih luas kepada orang Arab setelah masa wajib militer selesai. 


Sekalipun tetap berkecimpung di dunia militer, pemerintah berupaya memposisikan mereka untuk dapat sukses di masa depan.


Alasan ini terkesan sangat positif karena berupaya mengintegrasikan warga Arab ke dalam masyarakat Israel agar lebih sejahtera. Namun, anggota parlemen Hanin Zoabie kepada Al Majalla membantah alasan ini.


Kata Hanin, sikap baik ini bertujuan memecah belah orang Arab-Israel. Sebab, sama seperti kasus Ella tadi, sudah pasti hadirnya satu anggota keluarga menjadi tentara membuat hubungan dalam satu lingkungan tidak lagi sama. Mereka pasti akan saling menyalahkan hingga timbul perpecahan.


Menjadi individu dalam komunitas Arab-Israel memang sulit. Hanya ada dua pilihan: tetap bertahan di situasi penuh diskriminasi atau bekerja mengabdi pada pemerintah agar lebih sejahtera dengan predikat pengkhianat. Tentu pilihan ini tidak mudah dan punya konsekuensi besar. [Democrazy/CNBC]

Penulis blog