DEMOCRAZY.ID - Banyaknya pekerja China yang masuk ke Indonesia, bukan hal baru. Bahkan, rumor tersebut hampir selalu dihembuskan sebagai kritik atas kepemimpinan Presiden Jokowi, yang selalu dikonotasikan dengan China.
Namun, sejumlah sejumlah proyek strategis di Tanah Air, khususnya Kereta Cepat Jakarta-bandung memperkuat fakta tersebut.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengakui, memang ada ketimpangan antara pekerja asing dan lokal di proyek-proyek yang didanai oleh perusahaan Cina.
“Ketimpangan ini muncul karena proyek bersifat paket yakni pendanaan, kontraktor, tenaga kerja hingga bahan material konstruksi didatangkan dari Cina,” ujar Bhima saat dihubungi Tempo, Minggu (27/8/2023).
Bhima menilai pemerintah Indonesia terlalu menganggap tinggi posisi tawar investor China. Misalnya soal proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, pemerintah memandang seolah tanpa tenaga kerja asing (TKA) Cina proyek tersebut tidak akan berjalan.
“Jadi di mana-mana pemerintah bicara bahwa ada keahlian TKA yang tidak dimiliki pekerja lokal,” kata dia.
Padahal bila masalah yang menjadi sorotan adalah soal keahlian, Bhima menilai pemerintah Indonesia bisa mendatangkan TKA untuk sekedar memberikan pelatihan.
Bukan menjadikan para TKA Cina itu mengerjakan proyek tersebut sampai rampung.
Menurutnya, regulasi dan pengawasan dari pemerintah juga longgar. Salah satunya terlihat dari revisi peraturan kewajiban berbahasa sebagai syarat kompetensi. Pemerintah mengganti aturan lama diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018, Pasal 26.
Dalam beleid itu, pemerintah hanya mewajibkan para TKA belajar bahasa Indonesia setelah sampai ke Indonesia, bukan sebelum datang ke Tanah Air.
Imbas Pelonggaran kewajiban bahasa Indonesia bagi TKA itu dinilai membuat adanya kesulitan dalam komunikasi antara TKA dengan pekerja lokal. Akhirnya, ujar Bhima, Indonesia semakin bergantung pada TKA.
“Bahkan klaim bahwa pekerja Cina hanya sementara di awal proyek, kemudian akan terjadi transfer skill ke pekerja lokal pun perlu diragukan,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, terungkap sebuah dokumen yang menunjukkan jumlah pegawai asal Cina di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) lebih banyak dibandingkan dari Indonesia—khususnya pada bagian jasa pengadaan layanan operasi dan pemeliharaan.
Dalam dokumen itu, jumlah pegawai Cina disebutkan sebanyak 771 orang untuk posisi staf belum termasuk pimpinan, deputi, manajer, insinyur dan penerjemah. Sedangkan pegawai asal Indonesia hanya 95 orang dengan posisi yang bervariasi.
Dokumen tersebut merupakan lampiran surat PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC) yang ditujukan kepada Liu Zhenfang, Ketua Dewan dan Sekretaris Group China Railway tentang Pengadaan Penyedia Jasa Pengoperasian dan Pemeliharaan.
Sementara pegawai asal Indonesia hanya 95 orang dengan posisi yang bervariasi. Dokumen tersebut merupakan lampiran surat PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC) yang ditujukan kepada Liu Zhenfang, Ketua Dewan dan Sekretaris Group China Railway tentang Pengadaan Penyedia Jasa Pengoperasian dan Pemeliharaan.
Sekretaris PT KCIC Eva Chairunisa menjelaskan dalam persiapan pengoperasian kereta cepat pihaknya memang bekerja sama dengan Konsorsium PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI dan China Railway.
Kerja sama itu dilakukan khusus untuk kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan sepur kilat itu selama satu tahun ke depan.
“China Railway memiliki pengalaman mengoperasikan jaringan kereta cepat di Cina sepanjang 40.000 kilometer. Demikian halnya PT KAI adalah BUMN Perkeretaapian di Indonesia,” ujar dia saat dihubungi pada Rabu (23/8/2023).
Eva mengatakan konsorsium bertugas menyediakan sekitar 852 tenaga kerja asing (TKA) berpengalaman dan memiliki sertifikasi operasional dan pemeliharaan.
Sementara PT KCIC menyiapkan 1.096 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan mendampingi para tenaga ahli dari Cina untuk dapat melaksanakan tugas peralihan kemampuan mengoperasikan dan perawatan sarana kereta cepat. [Democrazy/Tempo]