'Ganjar Bertahan atau Nyungsep?'
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SETELAH Partai Golkar dan PAN bergabung dengan Partai Gerindra dan PKB untuk mendukung Prabowo, maka PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo limbung. Koalisinya PPP yang menawarkan Sandiaga Uno dinilai "tidak bermutu" dan dapat diabaikan. Ganjar Pranowo sendiri ternyata elektabilitasnya tidak naik apalagi melesat. Rupanya sama juga "tidak bermutu".
Faktor utama limbungnya PDIP adalah Jokowi. Hitungan awal ternyata gagal. Prediksi mengambil Ganjar untuk mendapat dukungan Jokowi dan mayoritas partai koalisi pemerintah ternyata tidak sukses. Jokowi kecewa Ganjar direbut Megawati.
Jokowi melirik Prabowo yang dianggap lebih menjanjikan dan "super setia" padanya.
Sesungguhnya Jokowi ada dibalik Golkar dan PAN yang merapat ke Prabowo. Upaya mendekatkan Gibran pada Prabowo juga tidak lepas dari kepentingan dan arahan sang ayah. Konstelasi politik berubah dari alienasi Jokowi menjadi alienasi Megawati. Dukungan pada Ganjar Pranowo semakin terkikis.
Internal PDIP sejak awal terbelah antara pendukung Puan Maharani dan pendukung Ganjar Pranowo. Kader PDIP ada juga yang mulai "bersilaturahmi" kepada Prabowo. Budiman Sudjatmiko dan Efendi Simbolon adalah contoh. Semua tentu mengacaukan soliditas partai.
Ada skenario "langit" yang mengobrak-abrik agenda. Awalnya Jokowi dan Megawati itu satu. Cair untuk dukungan Ganjar atau Puan. Musuh bersama adalah Anies Baswedan. Untuk "menghajar" Anies, maka Prabowo harus "diangkat".
Sandiwara survey, Prabowo harus nomor satu dan Ganjar kedua. Anies konstan dibuat ketiga dengan angka prosentase memprihatinkan.
Skenario "bermain" dua pasangan Ganjar versus Prabowo kelak, di luar dugaan ternyata menjadi "serius" dan justru lebih awal. Serangan PDIP kepada Prabowo dimulai dengan menyinggung kejahatan lingkungan proyek "Food Estate" Prabowo. Mungkin soal pembelian senjata akan menjadi serangan berikutnya. Akankah Prabowo atau Jokowi membalas?
PDIP wajar jika harus berfikir ulang untuk usungan Ganjar Pranowo yang faktanya semakin tidak menjanjikan. Ganjar tidak layak jadi Capres mandiri, hanya bagus untuk boneka yang sarat dengan pencitraan. PDIP kini dipersimpangan jalan.
Tiga pilihan untuk menjaga eksistensi PDIP, yaitu:
Pertama, tetap seperti sekarang "maju terus" bersama Ganjar Pranowo sampai "seremuknya". meskipun untuk memenangkan Pilpres sangatlah kecil.
Ini merupakan pilihan terburuk dan wujud dari keputusasaan.
Kedua, bergabung dengan koalisi perubahan dengan mencoba menawarkan Ganjar Pranowo sebagai Cawapres Anies Baswedan. Peluang kemenangan Pilpres lebih terbuka dan PDIP masih bisa ikut cawe-cawe dalam kabinet. Ini memang pilihan berat akan tetapi tetapi lebih rasional.
Ketiga, segera mengganti kandidat dari Ganjar Pranowo menjadi Puan Maharani. Siap menjadikan Puan sebagai Capres maupun Cawapres untuk pasangan siapapun.
Pengusungan Puan Maharani akan mampu membuat solid internal. Jika ini yang menjadi pilihan, maka "harga diri" PDIP akan tetap terjaga.
Pilihan kejutan dan hebat adalah bila PDIP dengan figur Puan Maharani berjuang keras untuk melawan Jokowi. Jokowi harus dimakzulkan cepat. Ini artinya PDIP harus berkoalisi dengan kekuatan rakyat pro pemakzulan. Kelompok Petisi 100 adalah "poros keempat" yang sangat berkepentingan dengan pemakzulan Jokowi.
Ada kekuatan rakyat yang dahsyat apakah mahasiswa, buruh, emak-emak, purnawirawan maupun kaum profesional yang bersemangat juga untuk memakzulkan Jokowi demi perbaikan bangsa ke depan.
PDIP bisa memainkan peran strategis dalam kebersamaan ini.
Pilihan mempertahankan Ganjar Pranowo adalah kenekadan untuk ngotot mendukung figur yang diprediksi bakal "nyungsep". Kini PDIP harus segera mengambil keputusan. Situasi berada di persimpangan jalan.
Masih ada waktu untuk pilihan cerdas bergerak "bersama rakyat"---Makzulkan Jokowi.
Bandung, 17 Agustus 2023