DEMOCRAZY.ID - Ekonom senior, Faisal Basri menyoroti kekayaan alam Indonesia yang banyak dinikmati China karena sebagian dikelola mereka.
Karenanya, ia mengimbau rakyat tidak membiarkan 90 persen nilai tambah kekayaan alam lari ke asing.
"Bahkan, bunganya lari ke asing, patennya lari ke asing, sisanya paling buat pekerja, itupun sedikit," ujar Faisal dalam diskusi OTW 2024 bertajuk Nyawa Demokrasi dan Ekonomi di Tangan Jokowi yang diselenggarakan Kedai Kopi, Selasa (15/8/2023).
Faisal membantah pernyataan-pernyataan, bahwa ekonomi Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Ia menegaskan, secara nyata pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan terus-menerus dan investasi mengalami perlambatan.
Padahal, ia mengingatkan, pemerintah sudah bolak-balik membuat ini dan itu agar jumlah investasi meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi tidak terjadi dan investasi malah mengalami perlambatan di Indonesia.
Selain itu, ia memberikan sorotan kepada institusi-institusi negara yang semakin sering tergerogoti oleh kepentingan politik. Salah satunya dapat dilihat dari tingkat mereka membuat aturan-aturan yang dibuat seenaknya.
Salah satu contoh yang sudah banyak diketahui masyarakat yaitu terkait bisnis kendaraan listrik. Yang mana, lanjut Faisal, melibatkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
"LBP memiliki perusahaan sepeda motor listrik dan lalu terbitlah aturan subsidi kendaraan listrik," kata Faisal.
Sebelumnya, dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef, di Jakarta, Selasa (8/8/2023), Faisal Basri juga mengkritik keras kebijakan hilirisasi yang kerap dibanggakan pemerintahan saat ini.
Pasalnya, hasil dari hilirisasi tersebut justru malah lebih menguntungkan negara lain ketimbang industri di dalam negeri.
“Tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi. Sekadar bijih nikel dioleh jadi NPI (nickel pig iron) atau jadi veronikel, lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyatanya mendukung industrialisasi China,” kata Faisal.
Faisal mengatakan, berbeda dengan hilirisasi, kebijakan industrialisasi akan meningkatkan perekonomian dari sisi strukur industri lokal serta meningkatkan nilai tambah dalam negeri.
Sementara, kata Faisal, hilirisasi yang sementara berjalan untuk nikel nyatanya bukan diolah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi.
“Luar biasa, tololnya luar biasa, jadi ini tidak dikoreksi. Sungguh, kita tidak dapat banyak (hasilnya), maksimal 10 persen, 90 persen ke China,” ujarnya.
Ia pun menyayangkan kebijakan hilirisasi tidak mendapatkan koreksi dari pemerintah. Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga para menteri, menurutnya, tetap membanggakan hasil hilirisasi.
Salah satunya, nilai ekspor nikel dan turunannya yang tembus 12 miliar dolar AS dari sebelumnya di bawah 1 miliar dolar AS. Akibat dari deindustrialisasi itu, Faisal mengatakan, sektor jasa justru lebih mendominasi saat ini.
“Indonesia sudah lama bukan lagi sebagai negara agraris namun belum kunjung sebagai negara industri. Lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa,” ujarnya.
Ia mencontohkan, penduduk yang bekerja di sektor jasa pun sudah lebih banyak daripada yang bekerja di sektor penghasil barang. Masing-masing yakni 55,8 persen dan 44,2 persen per Februari 2022.
Selain itu, nilai kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia juga telah didominasi oleh perusahaan sektor jasa, yakni sekitar 60 persen.
Sepanjang semester I, sektor jasa menyumbang 60 persen penerimaan pajak, sedangkan sektor penghasil barang hanya 38 persen.
Hasil Kajian Tengah Tahun Indef juga menyimpulkan, deindustrialisasi telah menjadi fenomena nyata di Indonesia.
Kontribusi produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan saat ini hanya 18,25 persen meski masih menjadi porsi terbesar dibandingkan sektor lainnya.
Sayangnya, peranan sektor industri pengolahan semakin menyusut dari waktu ke waktu. Ini menandakan terjadinya fenomena deindustrialisasi di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membantah tudingan yang menyebut bahwa hilirisasi industri hanya menguntungkan bagi China. Bantahan itu merespons pernyataan Faisal Basri.
"Nggak betul kan sudah ada baca tulisan itu ya itu saja baca, kan ada angkanya di sana," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip pada Selasa (15/8/2023).
Luhut menegaskan, data yang diterima Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa negara mendapatkan keuntungan berkali lipat dari hilirisasi industri tersebut berasal dari kementeriannya.
"Bukan sependapat (dengan Jokowi), kan kita yang feeding Pak Jokowi, jadi data itu. Dan Pak Jokowi nggak mungkin kita beri data yang tidak benar," ucap dia.
Menurutnya, komentar yang disampaikan Faisal Basri tersebut justru tak berdasarkan penghitungan data secara cermat.
"Orang saja yang berkomentar tidak melihat data dengan cermat. Yang diberi tahu itu hanya iron steel yang 415 atau berapa itu, dia lupa sudah kita anu matte sudah ada terus kemudian hpal juga ada, banyak sekali produk lain yang tidak diketahui dia, sehingga data itu saja yang keluarkan itu," jelas Luhut.
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga membantah pernyataan Faisal Basri yang menyebut hilirisasi yang dilakukannya tak menguntungkan industri di dalam negeri. Jokowi menegaskan bahwa hilirisasi industri justru memberikan keuntungan besar bagi negara.
"Ngitungnya gimana. Kalau itungan kita contoh saya berikan contoh nikel. Saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun," ujar Jokowi di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Jokowi menjelaskan, pendapatan yang dihasilkan negara dari hasil pajak hilirisasi industri pun menjadi lebih tinggi.
Selain itu, negara juga memperoleh pendapatan dari PPN, PPH badan, PPh karyawan, PPH perusahaan royalti bea ekspor, dll.
"Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 T sama mengambil pajak dari Rp 510 T lebih gede mana? Karena dari situ, dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan royalti bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. Coba dihitung saja dari Rp 17 T sama Rp 510 T gede mana?," jelasnya.
Jokowi menegaskan, kontribusi hilirisasi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) justru lebih besar.
Sebab, ada nilai tambah yang dihasilkan dari hilirisasi bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. [Democrazy/Rep]