'Dipenghujung Rezim Jokowi, Beban Rakyat Makin Berat?'
“Pro-rakyat hanya sebatas slogan dan pencitraan. Rakyat hanya kebagian remah-remah,”
Masa bakti Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir pada 2024. Selama berkuasa hampir sembilan tahun, Jokowi banyak mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menuai pro dan kontra.
Sebab beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh mantan Wali Kota Surakarta tersebut dinilai lebih menguntungkan oligarki atau pengusaha dibandingkan rakyat Indonesia.
Sejumlah kalangan menilai jelang lengsernya dari kekuasaan, Jokowi lebih banyak memberikan ‘permen’ bagi kelompok-kelompok pengusaha yang selama ini telah mendukungnya.
Beberapa kebijakan atau peninggalan Presiden Jokowi yang dinilai tidak pro terhadap rakyat adalah soal pemberian subsidi kendaraan listrik dan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Keduanya dinilai tidak banyak memberikan manfaat bagi rakyat ditengah kondisi perekonomian yang tidak stabil. Bahkan kedua kebijakan itu justru banyak menguntungkan kelompok pengusaha dan oligarki.
Untuk subsidi kendaraan listrik sendiri sebenarnya tidak banyak memberikan manfaat bagi rakyat. Sebab saat ini rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.
Meski berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan masyarakat Indonesia turun, namun tetap saja masih ada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini.
BPS sendiri menyebut angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 turun menjadi 9,36 persen atau sebanyak 25,90 juta orang.
Saat masih ada orang miskin di Indonesia, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan untuk memberikan subsidi terhadap pembelian kendaraan bermotor listrik.
Subsidi Kendaraan Listrik Makin Membengkak
Berdasarkan data Kementerian Keuangan anggaran subsidi untuk kendaraan bermotor listrik mencapai Rp1,75 triliun. Nilai tersebut dengan asumsi untuk memberi subsidi sebanyak 250.000 unit motor listrik dengan besaran per unitnya Rp7 juta. Anggaran tersebut diambil dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) APBN 2023.
Subsidi ini akan bengkak pada tahun 2024 menjadi Rp4,2 triliun untuk 600.000 unit motor listrik. Anggaran tersebut belum dihitung dengan subsidi untuk mobil listrik dan bus listrik yang nilainya di atas motor listrik tersebut.
Subsidi kendaraan listrik ini pernah dikritik oleh bakal calon presiden (Capres) Anies Baswedan. Sebab menurutnya kebijakan ini tidak tepat sasaran karena pemilik mobil listrik masuk dalam kategori masyarakat mampu secara ekonomi, sehingga mereka tidak membutuhkan subsidi lagi.
Selain itu, Anies juga menilai pemberian subsidi yang kurang tepat ini justru hanya akan menambah kemacetan di jalan raya.
“Ditambah lagi pengalaman kami di Jakarta, ketika kendaraan pribadi berbasis listrik dia tidak menggantikan mobil yang ada di garasinya, dia akan menambah mobil di jalanan menambah kemacetan di jalanan,” kata Anies beberapa waktu lalu.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan pemberian subsidi kendaraan listrik tidak tepat karena yang menerimanya tentu orang dari kelas menengah ke atas, sedangkan esensi dari kata subsidi itu sendiri adalah meringankan beban masyarakat miskin, kelas menengah ke bawah.
Ia menyarankan, pemerintah untuk mengalihkan subsidi kendaraan listrik ke subsidi transportasi massal saja, karena akan dirasakan langsung oleh masyarakat berekonomi lemah yang sehari-harinya beraktivitas menggunakan kendaraan umum.
Menurutnya, tingkat kepadatan dan terkoneksinya moda transportasi di tanah air masih menjadi persoalan cukup serius.
Di negara-negara maju, sambung dia, angkutan umum harus terkoneksi dari first mile sampai last mile dan setiap orang maksimal hanya boleh berganti tiga kali kendaraan untuk sampai ke tempat tujuan.
“Bagaimana mengusahakannya ya terserah pemerintah. Kalau enggak yang angkutan jadi kurang menarik buat masyarakat, khususnya kelas menengah atas,” terang dia.
UU Ciptaker Buat Buruh Semakin Sulit
Selain subsidi, UU Cipta Kerja atau Omibus Law juga dinilai tidak pro rakyat. Sebab dalam UU tersebut banyak merugikan masyarakat khususnya para buruh. UU Ciptaker ini justru memberikan banyak insentif bagi pihak asing atau investor di Indonesia.
Buruh mengeluhkan jika UU Ciptaker sangat merugikan mereka, contohnya soal penetapan besaran pesangon buruh korban PHK menjadi berkurang. Dalam UU Ciptaker besaran pesangon hanya dibatasi maksimal sembilan kali gaji.
Selain itu, sistem upah dalam UU Ciptaker juga dinilai merugikan, sebab dengan sistem upah tersebut, buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.
Potensi itu muncul karena formula penetapan upah menimun bisa diubah dalam kondisi tertentu
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat 2,” bunyi pasal 88F Cipta Kerja. [Democrazy/Inilah]