'Budi Pekerti Luhur Itu Hilang, Yang Ada Hanya Kebohongan Selalu Berulang!'
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
“Saya tahu ada yang mengatakan ‘saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, tolol hingga Firaun.’ Ya, ndak apa-apa, sebagai pribadi saya terima saja. Saya sedih karena budaya santun, budi pekerti luhur yang biasanya dimiliki oleh bangsa Indonesia perlahan-lahan menghilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia,” [Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, 16/8]
Saya ikut prihatin pak, ada yang mengatakan pak Jokowi bodoh. Saya juga tak sependapat, ada yang menyebut Pak Jokowi plonga-plongo. Apalagi, hingga disebut bajingan tolol dan Fir’aun.
Karena memang semua itu bertentangan dengan akhlak, etika, moral, budaya ketimuran dan terutama bertentangan dengan budi pekerti. Tak layak, umpatan dan makian dilontarkan di ruang publik.
Tapi coba kita berfikir sejenak, kira-kira apakah bohong itu sejalan dengan budi pekerti? Apakah bohong bagian dari budaya kesantunan? Apakah demi menjalankan kekuasaan demokrasi, menjadi sah bertindak ala machiavelli?
Ada memang yang menyebut Pak Jokowi tolol, dia adalah Rocky Gerung. Bahkan, bajingan tolol. Tapi itu ditujukan kepada kebijakan bapak yang pergi ke China nawarkan IKN dan mondar mandir dari satu koalisi ke koalisi lainnya.
Ada juga yang menyebut Pak Jokowi Fir’aun, itu karena Kebijakan Pak Jokowi mirip Fir’aun, menuhankan infrastrukur. Cak Nun, bahkan menyebut Luhut Panjaitan sebagai Hamman.
Tapi bukankah, itu semua sudah dianggap kecil? Bapak akan fokus bekerja? Kenapa hal yang kecil itu disebut lagi dalam pidato penting saat acara kenegaraan?
Saya khawatir, itu bukan hal kecil. Saya khawatir, Pak Jokowi masih akan meneriakan ‘AKAN SAYA LAWAN!’ seperti teriakan Pak Jokowi saat kampanye di Jogja, 2019 lalu.
Sementara, kebohongan Pak Jokowi itu tidak dimaafkan rakyat. kebohongan Pak Jokowi, itu merugikan seluruh rakyat. Dan rakyat, tak menganggap itu hal kecil. Makanya, banyak rakyat yang menuntut Pak Jokowi mundur atau dimakzulkan.
Coba ingat-ingat lagi, siapa yang bohong kereta cepat tidak akan dibiayai APBN, tapi akhirnya terjadi cost over run dan terbit Perpres yang menjamin proyek ini dengan APBN negara? Siapa yang dirugikan? Rakyat bukan?
Siapa yang bohong soal buy back indosat, sampai sekarang mayoritas masih dikuasai Qatar. Siapa yang dirugikan? Rakyat bukan?
Siapa yang janji stop impor pangan? Nyatanya import tak pernah berhenti. Siapa yang dirugikan? Rakyat bukan?
Siapa yang janjikan mobil Esemka sudah 6000 unit dipesan. Sampai sekarang, pentil ban mobil Esemka saja tak nampak. Siapa yang dirugikan? Rakyat bukan?
Wah, kalau mau dihitung terlalu banyak kebohongan Pak Jokowi. Itu semua merugikan rakyat. Itu semua bertentangan dengan budi pekerti.
Apalagi, kalau masalah ijazah palsu ikut dihitung. Tak ada nilai moral dan etikanya, presiden berijazah palsu dihadapan rakyat.
Sudahlah Pak, kalau mau marah kepada Rocky Gerung, marah saja. Buat saja laporan polisi dan penjarakan dia. Tapi tak perlu meminjam ungkapan bijak dengan narasi budi pekerti. Kata itu terlalu suci, kalau hanya digunakan untuk melegitimasi keculasan. ***