DEMOCRAZY.ID - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi, dkk., terkait Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tujuan uji materi ini untuk menurunkan ambang batas usia capres-cawapres, dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi.
"Permohonan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, karena PSI tidak dapat mengajukan capres-cawapres, dan kader PSI tidak ada satu pun yang dapat menjadi capres atau cawapres," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam rilisnya, Sabtu, 19 Agustus 2023.
Julius Ibrani, menebak nasib perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan ini hanya berujung pada dua kesimpulan.
"Tanpa perlu menggali dari informan," ujarnya. Jika terkait hak asasi, menurut dia, maka MK akan berdalih Open Legal Policy. Kemudian jika terkait kepentingan politik, kata Julius, maka sarat akan kejanggalan.
Dia mencontohkan proses pelemahan KPK dan transformasi lembaga antikorupsi itu menjadi alat politik Presiden Jokowi.
Melalui putusan MK yang menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden.
Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun, (Pasal 29 Huruf e UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK), berbasis pertimbangan soal frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK" yang tidak pernah ada di seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga di dalam Konstitusi, UUD 1945, maupun UU KPK.
"Mahkamah Konstitusi jelas telah dikooptasi oleh Presiden Jokowi," ujar Julius dalam rilisnya, Sabtu, 19 Agustus 2023.
Ia menegaskan kesimpulan ini juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini juga melanggar Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
"Ditambah sebelumnya, hakim MK diberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Jokowi," ucapnya.
Masalah Laten Hak Politik: Diskriminasi Hak Asasi Rakyat, bukan Perlakuan Khusus Anak Presiden Jokowi
Bicara soal diskriminasi atas hak politik warga negara, Julius mengatakan sejatinya bicara soal pengkebirian hak dipilih melalui threshold, baik parliamentary maupun presidential threshold, yang juga menggunakan tangan kotor Mahkamah Konstitusi.
Pengujian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa ambang batas suara sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional.
Dampaknya, ujar Julius, tidak ada seorang warga negara pun yang punya hak dipilih untuk dapat mencalonkan diri di Pemilu sebagai wakil rakyat (DPR) atau Presiden tanpa melalui partai politik.
Tidak hanya itu, justru memaksa partai politik untuk berkongkalikong suara hingga transaksi politik uang yang menyandera presiden dengan proyek sebagai “balas jasa” politik.
Dia mengatakan gugatan ambang batas usia yang diajukan PSI ke MK tidak dapat dilepaskan dari dua fakta.
Pertama, PSI adalah partai komprador Presiden Jokowi. Kedua, posisi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai cawapres, yang tidak lain adalah putra kandung Presiden Jokowi.
Menurut Julius, fakta ini membawa presumsi bahwa permintaan penurunan batas usia capres-cawapres dalam gugatan PSI untuk memuluskan jalan Gibran yang digadang-gadang menjadi pasangan Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan).
Mereka bermodal propaganda melalui survei yang melampaui cawapres yang ada (Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, bahkan Airlangga Hartarto) dan jabatan inkumben sebagai Wali Kota Solo.
"Tidak terlihat adanya persoalan diskriminasi hak politik dalam gugatan PSI, yang jelas justru perlakuan khusus melalui rekayasa legislasi," ujarnya.
Khawatir Akan Bait Akhir: Putusan Hakim Harus Patuh Konstitusi, Bukan Kepentingan Presiden Jokowi
Peneliti PBHI Andi Nur Ilman menyatakan agaknya mustahil berharap MK tidak dimaknai sebagai Mahkamah Keluarga ketika perkara yang isinya berelasi kuat dengan anak kandung Presiden Jokowi, Gibran.
Gugatan itu diajukan oleh komprador Presiden Jokowi, kepada lembaga dengan salah satu hakimnya adalah adik ipar Presiden Jokowi.
"Nyaris tidak mungkin tidak ada cawe-cawe. It’s all about, and it’s on Presiden Jokowi," ujar Andi.
Karena itu, ia menilai wajar jika publik khawatir akan bait akhir putusan MK akan mutlak dikabulkan sepenuhnya, seperti didikte.
Mengingat, kata dia, pendiktean MK juga terlihat jelas dari preseden buruk gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang sangat mirip dengan ambang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh PSI.
Yakni, terkait batas usia komisioner KPK: usia diturunkan, lalu diberi embel-embel 'berpengalaman sebagai pimpinan lembaga'.
"Jangan sampai pen-dikte-an Putusan MK seperti copy-paste Putusan Nurul Ghufron untuk PSI, yakni “Ambang batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat berpengalaman sebagai pimpinan pemerintahan (baca: kepala daerah)," ujarnya.
Ia meningatkan hakim konstitusi bahwa masa jabatan sebagai hakim terbatas. Nasib hakim pun berubah-ubah tergantung rezim.
"Seperti dua hakim Konstitusi yang dicokok KPK sampai masuk penjara. Tidak ada jaminan 'kebebasan dan keselamatan' hakim Konstitusi pasca selesai masa jabatan.," ucap Andi.
Oleh sebab itu, Andi kembali mengingatkan hakim Konstitusi harus menjaga nama-nama baik yang melekat sejak berdirinya MK, yakni penjaga Konstitusi (the guardian of the constitution), pelindung demokrasi (the protector of democracy), pelindung hak asasi manusia atau HAM (the protector of human rights), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen's constitutional rights), pengawal ideologi negara (the guardian of state ideology).
Ia menyatakan semua nama-nama baik ini akan terwujudkan jika MK tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah diskriminasi melainkan kualifikasi.
"Dan menolak despotisme kekuasaan eksekutif yang bahkan melebihi rezim otoritarian Orde Baru yang hanya menempatkan legislatif di bawah kekuasaan politik praktisnya, bukan yudikatif apalagi Mahkamah Konstitusi," kata Andi. [Democrazy/Tempo]