DEMOCRAZY.ID - Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menduga ada niat ingin 'melanggengkan' potensi Pemilu 2024 tertunda dari pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet). Kata Bamsoet, kita harus bersiap dengan kondisi terburuk, termasuk keadaan darurat.
"Pasti salah satu caranya untuk memenuhi atau demi (perpanjangan jabatan). Jokowi seolah-olah tidak perlu, tapi pembahasan soal perpanjangan lanjut. Tapi ketua DPD, ketua MPR, ada pembahasan kelompok tertentu, ada rancang bangun 3 periode, ada rancang bangun memperpanjang masa jabatan," kata Feri dalam keterangannya, Rabu (30/8).
"Berulang-ulang itu dibahas. Ada masa jabatan kepala desa diperpanjang dan segala macam. Artinya apa, Jokowi menginginkan perpanjangan itu." -- Feri Amsari
Feri menilai, saat ini tidak ada indikasi atau tanda-tanda Indonesia menuju status darurat sehingga Pemilu 2024 harus ditunda.
Kecuali bencana hebat, rasanya bila tidak ada 'intervensi', Pemilu 2024 tetap sesuai jadwal.
Situasi kedaruratan itu terdiri dari: perang, bencana nasional, dan situasi khusus lainnya yang membuat sistem kenegaraan tidak berjalan.
Feri curiga, jangan-jangan Bamsoet sudah merencanakan bakal ada kedaruratan. Lalu situasi diumumkan, dan pemilu akhirnya betul-betul ditunda. Katanya, masa jabatan Jokowi pun ada peluang berlanjut.
"Artinya ini kan berputar terus. Alat kekuasaan itu kan di bawah penguasa tertinggi dan bisa digerakkan. Nanti setelah digerakkan, dibuat kegaduhan, maka diumumkanlah kedaruratan, ditunda pemilu," katanya.
"Dan dia (Jokowi) terpaksa jadi kepala pemerintahan dan kepala negara lagi," sambung Feri.
Ia menambahkan, Jokowi harusnya menyadari ada upaya-upaya ke arah sana. Lalu mengambil langkah tegas sebagai negarawan.
"Jadi Jokowi bukanlah negarawan tapi mengejar kekuasaan yang membiarkan pelanggaran konstitusi terjadi di depan matanya. Bukan tidak mungkin direncanakan kegaduhan, upaya memolorkan pemilu dan segala macam itu," ungkap dia.
Menurut Feri, geng pemerintah sudah merencanakan hal tersebut. Sudah ada sejumlah indikasi.
"Karena mereka sudah mengindikasikan dalam sikap-sikapnya, berulang-ulang. MPR ingin balik lagi secara GBHN, minta ada Pilpres hanya di MPR, minta amandemen, yang sampai sekarang konsep tertulisnya tidak dibuka ke publik," katanya.
"Apa yang mereka usulkan itu? Sudah banyak indikatornya itu, kades yang meminta perpanjangan, lalu kadesnya diperpanjang," tutup Feri.
Sebelumnya, Bamsoet mengatakan, sudah empat kali diamandemen, masih banyak ruang kosong yang tidak ter-cover oleh konstitusi. Konstitusi tidak memberikan 'pintu darurat' manakala terjadi kedaruratan.
Misalnya, tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Jabatan-jabatan itu akan kosong bila pemilu tidak bisa dilaksanakan. Bamsoet mencontohkan, kondisi tersebut bisa saja terjadi karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.
"Jika pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi, maka secara hukum tidak ada anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah maupun presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk pemilu. Menteri pun sudah berakhir masa jabatannya karena mengikuti masa jabatan presiden yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/8). [Democrazy/Kumparan]