Sejatinya korupsi bukanlah bagian budaya, tetapi wabah dan endemi yang harus dibasmi. Implementasinya tidak boleh tebang pilih, memilah-milah sasarannya. Bukan tanpa alasan jika “Dewi Keadilan” digambarkan memegang pedang dengan mata tertutup. Itu adalah filosofi dasar bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang siapa pelakunya.
Oleh: Wiguna Taher
“Dulu, korupsi dilakukan di bawah meja, di era Orde Baru korupsi berlangsung di atas meja, sekarang di era reformasi, meja mejanya yang dikorupsi”.
Candaan lawas seputar korupsi di atas, terasa masih sangat relevan dengan kondisi mutakhir. “Kenyataannya sekarang ini saja, korupsi itu jauh lebih gila dari zaman orde baru. Saya tidak katakan semakin besar atau apa jumlahnya, meluas,” kata Menko Polhukam Mahfud MD dalam Dialog dengan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pimpinan PTN/PTS se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditayangkan di Youtube UGM, Sabtu (5/6/2021) silam.
Masih belum yakin? Mari kita buka data.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan skor dari 38 pada 2021, menjadi 34 pada 2022. Skor itu menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 180 negara yang dilakukan penilaian oleh Transparency International (TI)
Atas penurunan indeks persepsi sampai empat poin itu, apakah lantas membuat Indonesia kini masuk ke dalam daftar negara paling korup di dunia? Kenyataannya, skor IPK Indonesia 2022 itu setara dengan negara negara terbelakang seperti Sierra Leone, Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, dan Nepal.
Di kawasan Asia Tenggara, kita justru tertinggal dari Malaysia, Vietnam, bahkan Timor Leste. Jangan membandingkan kita dengan Singapura yang menempati peringkat pertama dengan skor 83.
Lantas apa kata Presiden Jokowi soal ini. “Iya, itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama,” ujar Jokowi di Bali, melansir kanal YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (4/2/2023) lalu.
Mahfud MD sendiri mengaku kecewa atas skor ini. “Saya agak terpukul, kemarin atau dua hari lalu ada rilis indeks persepsi korupsi yang diumumkan oleh Transparency International,” kata Mahfud di kantor Lemhannas, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023). “Indeks persepsi korupsi ini terjelek sejak reformasi,” tambah Mahfud.
Penyakit korupsi memang sepertinya tak tertolong dan sudah menjalar ke semua lini. Mulai dari kepala desa, anggota DPRD, kepala daerah, anggota DPR, menteri, bahkan melanda benteng terakhir keadilan kita, hakim agung.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK.
Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota DPRD. Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama.
Di level kabinet, kasus korupsi teranyar menjerat Menkominfo Jhonny G Plate yang juga Sekjen Partai NasDem. Dia menjadi tersangka dugaan korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G dengan kerugian negara mencapai Rp8 triliun.
Sebelumnya ada politikus PDI Perjuangan Juliari Batubara. Bekas Menteri Sosial, terlibat kasus korupsi bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 senilai Rp32,4 miliar dari para penyedia bansos. Juliari mendapat hukuman 12 tahun penjara.
Ada pula Imam Nahrawi yang sempat menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Politikus PKB itu tersandung kasus suap senilai 26,6 miliar bantuan pemerintah pada KONI tahun anggaran 2018. Ia divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp400 juta, subsider 3 bulan penjara.
Selanjutnya Edhy Prabowo. Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan ini terlibat dalam kasus suap pemberian izin budi daya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL). Politikus Gerindra itu menerima suap Rp25,74 miliar. Edhy dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan penjara.
Yang terakhir, Idrus Marham. Bekas Menteri Sosial dan Sekjen Partai Golkar itu divonis dua tahun. Dia terlibat korupsi pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 dan terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resource Ltd Johannes Kotjo.
Di level penegak hukum, hakim agung yang sejatinya menjadi benteng terakhir keadilan di Indonesia malah terlibat korupsi jual beli kasus.
Hakim Agung Sudrajat Dimyati misalnya, divonis 8 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar. Sementara koleganya dalam kasus yang sama, Hakim Agung Gazalba Saleh, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.
Sudrajad Dimyati menjadi hakim agung pertama yang dihukum sepanjang sejarah Indonesia. Adapun untuk hakim konstitusi, tercatat sudah ada dua hakim MK yaitu Akil Mochtar yang dihukum penjara seumur hidup dan Patrialis Akbar yang dihukum 7 tahun penjara.
Kendala Sistemik Pemberantasan Korupsi
Praktik korupsi sebagai gejala universal sudah ada sejak ratusan tahun lalu, timbul karena ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang menahan ketamakannya untuk memperkaya diri. Ketamakan ini didukung oleh adanya sistem akuntabilitas pemerintahan yang lemah.
Puji Astuti dalam ejuournal.undip.ac.id menulis, korupsi terjadi karena praktik kekuasaan yang monopolistik, dengan peluang untuk melakukan tindakan diskresi yang cukup besar, tetapi tidak ada pengawasan yang memadai melalui kinerja sistem akuntabilitas atau (Corruption = (Monopoly + Discretion) – Accountability.
Korupsi merupakan perbuatan busuk yang mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa antara lain mempengaruhi perekonomian nasional, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak mental dan budaya bangsa, mendistorsi hukum, dan mempengaruhi kualitas layanan publik.
Akibat korupsi, kita menjadi bangsa yang terpaksa kehilangan martabat karena dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Yang lebih menyakitkan, rakyat harus menerima kenyataan bahwa para pencuri uang negara masih bisa menikmati uang jarahan dengan hidup bebas di negara tetangga seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, dan China. Sejumlah koruptor dengan alasan pemeriksaan kesehatan bisa keluar masuk penjara sesuai keinginan.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan perlakuan negara negara yang berhasil melakukan penanganan korupsi seperti Thailand, China, Singapura, Korea, dan Malaysia.
China dulu juga dikenal sebagai negara yang korup, tapi kemudian menyadari bahwa korupsi akan menghancurkan kemampuan daya saing yang semakin ketat. Oleh karena itu dalam penanganan korupsi, China kemudian mengambil langkah-langkah yang sangat fundamental, termasuk melaksanakan hukuman mati.
Di Indonesia justru berlaku hal sebaliknya. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2021, rata-rata vonis napi koruptor masih begitu ringan dengan hukuman 3,5 tahun penjara. Bukan hanya itu, para napi koruptor juga diberi fasiltas pembebasan bersyarat. Ini menambah keraguan publik mengenai keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang cenderung mengendur belakangan ini.
Buruk Rupa KPK
Upaya pemberantasan korupsi semakin memburuk sejak upaya pelemahan KPK. KPK yang kuat dan efektif membuat para koruptor gerah dan melancarkan serangan balik (corruptors fight back). Peran KPK yang dianggap superbodi, dikebiri melalui revisi UU KPK pada tahun 2019. Revisi itu kemudian diikuti dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN. Tetapi dalam asesmen ada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial. TWK justru digunakan oleh pimpinan KPK untuk menyingkirkan pegawai berdasarkan alasan yang subjektif dan tidak transparan.
Proses TWK yang berujung dengan pemecatan 51 karyawan KPK yang berintegritas ini, kembali menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas dan bahkan diabaikan oleh pemerintah Presiden Joko Widodo.
Pelemahan KPK juga bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk memastikan independensi dan efektivitas lembaga antikorupsi, seperti yang disyaratkan oleh Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) dan Prinsip-Prinsip Jakarta untuk Lembaga Antikorupsi.
Belum lagi skandal yang menyeruak di internal komisi antirasuah itu. Tak tanggung-tanggung, ada tiga skandal yang diungkap, meliputi pelecehan hingga korupsi di komisi yang seharusnya antikorupsi.
Pertama adalah dugaan pungutan liar di rumah tahanan KPK. Pungli yang terjadi pada periode Desember 2021 hingga Maret 2022 diungkap Dewan Pengawas KPK. Nilainya mencapai Rp 4 miliar.
Dalam kasus itu, para tahanan diduga menyetorkan uang ke penjaga supaya mendapatkan fasilitas seperti ponsel. Dari kasus pungli inilah kemudian diketahui terjadi pelecehan seksual di rutan tersebut yang menimpa istri tahanan. Terakhir, skandal penggelembungan uang dinas oleh pegawai KPK.
Sosok Ketua KPK Firli Bahuri dan pejabat teras KPK pun tak lepas diterjang kasus pelanggaran etika dan dugaan perbuatan pidana. Firli misalnya kerap kali dilapokan ke Dewan Pengawas KPK.
Kasus paling anyar tatkala sejumlah penggiat anti korupsi melaporkan Firli terkait dugaan pembocoran dokumen hasil penyelidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja Tahun Anggaran 2020-2022 di Kementerian ESDM. Tapi seperti skandal etik sebelumnya, Firli lagi lagi lolos dan bebas melengang.
Masih banyak fakta yang menguatkan bahwa KPK seolah menjadi alat kekuasaan untuk menekan lawan politik atau menjadikan kasus sebagai alat tawar untuk kepentingan tertentu.
Salah kasus yang sempat mencuat ke publik dan sampai saat ini belum jelas jutrungannya adalak dugaan suap yang melibatkan politikus PDIP Harun Masiku. Dia terseret suap terhadap Anggota KPU Wahyu Setiawan terkait pergantian antarwaktu anggota DPR, Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Bertahun tahun Harun Masiku buron, dan nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto disebut sebut, diduga terlibat dalam kasus ini.
Masih banyak fakta yang menguatkan dugaan bahwa KPK seolah menjadi alat kekuasaan untuk menekan lawan politik atau menjadikan kasus sebagai alat tawar untuk kepentingan tertentu.
Peran itu pula yang belakangan dimainkan Kejaksaan Agung. Banyak pihak menilai kasus kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung diduga sarat dengan kepentingan politik. Sebut saja kasus dugaan korupsi Menkominfo yang juga Sekjen Partai Nasdem Jhonny G Plate, atau pemeriksaan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam dugaan korupsi kuota ekspor minyak goreng.
Mengapa korupsi di Indonesia menjadi begitu sulit diberantas? Benarkan korupsi telah membudaya?
Sejatinya korupsi bukanlah bagian budaya, tetapi wabah dan endemi yang harus dibasmi. Korupsi menjelma menjadi sebuah aktivitas yang terencana, yang disusun secara sistemik sehingga tidak mudah dideteksi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai politik korupsi, sebuah usaha terstruktur dan sistemik untuk melanggengkan tindakan korupsi.
Politik korupsi yang sangat populer dilakukan dengan cara membuat penguasa di atasnya merasa nyaman dan orang-orang yang berada di bawah ikut menikmati hasil korupsi. Dalam istilah jawa ke atas mangku dan ke bawah ngayemi.
Politik korupsi inilah yang menyebabkan pelaku korupsi menjadi untouchable atau tak tersentuh. Maka wajar apabila korupsi menjadi fenomena yang sulit diberantas, termasuk di era reformasi sekarang ini.
Jika korupsi berjemaah ini tak diberangus, kita tidak akan pernah beranjak dari predikat sebagai salah satu negara terkorup sebagaimana dilaporkan oleh Tranperancy International maupun Political & Economic Risk Consultancy (PERC).
Akhirnya, setelah 78 tahun Indonesia merdeka, pemberantasan korupsi harus diterapkan kepada siapapun. Tidak boleh tebang pilih, memilah-milah sasarannya. Bukan tanpa alasan jika “Dewi Keadilan” digambarkan memegang pedang dengan mata tertutup. Itu adalah filosofi dasar bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang siapa pelakunya.
Ketika mata pedang hukum bisa melihat, dan sasarannya ditebaskan hanya pada lawan politik, dan sengaja dilepaskan kepada kawan politik, maka penegakan hukum demikian justru sangat berbahaya, dan rentan manipulasi. [Democrazy/Inilah]