Tolak Ahok Jadi Dirut Pertamina: Mafia Minyak Bersatu Dengan Oligarki Sukseskan Agenda Pilpres 2024?
OLEH: MARWAN BATUBARA
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies
PEMERINTAHAN Jokowi resmi mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang berlangsung di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta Pusat (25/11/2019).
Bersama Ahok, diangkat pula Budi Gunadi Sadikin sebagai Wakil Komut dan dan Komjen Condro Kirono sebagai Komisaris.
Ahok, Budi dan Condro masing-masing menggantikan Tanri Abeng, Archandra Tahar, dan Gatot Trihargo sesuai SK Menteri BUMN No.282/MBU/11/2019.
Menteri BUMN Erick Thohir meminta publik dapat menerima pengangkatan Ahok, dan menunggu hasil kerjanya sebelum melakukan penolakan. Pernyataan tersebut mungkin sah diungkapkan seorang pejabat negara yang menjalankan perintah Presiden Jokowi yang telah meminta agar Ahok diberi jabatan di BUMN.
Namun jika melihat dan mempertimbangkan esensi sebab penolakan masyarakat, yang sangat relevan dan valid, maka Menteri BUMN dan Presiden Jokowi lebih layak membatalkan pengangkatan tersebut.
Penolakan masyarakat terutama muncul karena profil, rekam jejak dan status Ahok selama menjadi pejabat publik yang diyakini tidak memenuhi syarat sebagai pimpinan BUMN, baik sebagai anggota direksi maupun komisaris BUMN.
Persyaratan tersebut antara lain tercantum dalam UU No.19/2003 tentang BUMN, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris BUMN dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN.
Pasal 28 UU BUMN antara lain mensyaratkan komisaris BUMN harus memenuhi kriteria integritas, dedikasi dan pemahaman bidang bisnis BUMN. Faktanya, selama menjabat sebagai Bupati Belitung Timur dan Gubernur DKI Jakarta integritas Ahok sangat bermasalah, terutama karena tersangkut sejumlah kasus dugaan korupsi dan gagal menegakkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Jika kita membandingkan berbagai persyaratan dalam berbagai peraturan di atas, maka jelas Ahok tidak qualified menjadi Komut BUMN.
Pasal 4 Permen BUMN No.01/2011 tentang GCG menyatakan agar organ atau pimpinan BUMN menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan tanggung jawab sosial.
Sedang Pasal 12 Permen BUMN menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas, komisaris harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar korporasi.
Status Ahok yang pernah dihukum pidana selama 2 tahun penjara sangat jelas tidak memenuhi kriteria nilai moral yang tinggi sebagaimana dipersyaratkan Permen BUMN No.01/MBU/2011 dan Permen BUMN No.03/MBU/2015.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memvonis Ahok yang terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penistaan agama. Perbuatan Ahok dinilai memenuhi unsur pelanggaran Pasal 156a KUHP.
Selain pelanggaran etika dan moral di atas, ternyata Ahok merupakan sosok pejabat publik yang sarat dengan dugaan berbagai kasus korupsi besar bernilai miliaran-triliunan rupiah. Pada 2017 IRESS dan sejumlah LSM telah melaporkan ke KPK kasus-kasus: Rumah Sakit Sumber Waras, Lahan Taman BMW, Lahan Cengkareng Barat, Reklamasi Teluk Jakarta, Dana CSR, Dana Off-Budget, Pengadaan dan Tambang Belitung Timur, Pengadaan UPS dan Pengadaan Bus Trans-Jakarta.
Namun meskipun sebagian besar kasus-kasus dugaan korupsi memiliki bukti permulaan cukup, tidak satu kasus pun yang diproses lebih lanjut di pengadilan.
Dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) Ahok telah melanggar UU BPK No.15/2004, UU Pengadaan Tanah No.2/2012, UU Keuangan Negara No.17/2003, PP Pengelolaan Barang Negara/Daerah No.27/2014, Perpres Pengadaan Tanah No.71/2012 dan Permendagri Pengelolaan Milik Daerah No.17/2007.
Menurut BPK, dugaan kasus korupsi ini berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Bahkan kerugian negara tersebut bertambah Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi sebagai penjual lahan hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sedangkan sisa Rp 400 miliar telah digelapkan.
Dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta yang melibatkan Ahok sebagai salah satu pelaku utama terjadi pelanggaran UU Tipikor No.20/2001, UU Lingkungan Hidup No.32/2009, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir No.1/2014, PP RTRW Nasional No.26/2008, Kepres Reklamasi Pantai Utara Jakarta No. 52/1995, UU Pengadaan Tanah No.2/2012 dan sejumlah peraturan lain.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan-ratusan triliun rupiah. Ternyata Agus dan KPK double standard. Meskipun fakta-fakta persidangan terhadap M. Sanusi dan Ariesman Wijaya telah membuktikan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, ternyata KPK tidak melanjutkan proses hukum ketiga terduga koruptor.
Mens Rea: Alasan Absurd KPK untuk Melindungi Ahok!
Ternyata dalam berbagai kasus dugaan korupsi yang melanggar sejumlah peraturan dan merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah hingga triliunan rupiah tersebut, Ahok selalu berhasil lolos dari jerat hukum, baik karena perlindungan dari KPK maupun dari Polri.
Dalam kasus RSWS misalnya, KPK menyatakan Ahok tidak mempunyai niat jahat (mens rea). Padahal bukti-bukti permulaan untuk mengadili Ahok sudah lebih dari cukup, seperti kerugian negara sebesar Rp 191 miliar sesuai Laporan Audit BPK pada 31 Mei 2016.
Menurut UU No.3/1971 sebuah kasus korupsi harus dilanjutkan ke proses pengadilan jika telah tersedia dua bukti permulaan, yakni misalnya pertama ada uang hilang, dan kedua ada orang yang menerima uang.
Bahkan persyaratan tersebut, untuk kasus Korupsi RSWS, telah lebih dari dua karena adanya pelanggaran seperti pembayaran dilakukan malam hari, pembayaran dilakukan secara cash, dll. Bagaimana mungkin KPK menyebutkan tidak ditemukan niat jahat? Jelas sekali KPK telah berperan aktif melindungi Ahok dari jerat hukum.
Pada sisi lain, muncul kampanye bahwa audit BPK salah (“ngaco” kata Ahok), dan auditor kasus RSWS diperiksa aparat hukum. Kemudian BPK pun akhirnya terjebak pada wacana dan upaya menangkis serangan Ahok dan para pendukung. Bahkan sejumlah pimpinan BPK pun mengalami kriminalisasi.
Demi membela Ahok, pranata dan proses hukum nasional dapat terbolak-balik dengan mudah. Padahal selama ini belum pernah ada orang mempersoalkan audit BPK. Jika ada, maka dapat dilakukan uji kebenaran atas data yang dimiliki BPK dengan yang dimiliki Ahok. Namun hal tersebut tidak berani dilakukan!
Menurut ilmu hukum, jika isu mens rea ingin dicari dan dibuktikan secara objektif, maka caranya bukan mencari pada pikiran/otak atau pada perasaan/hati si tertuduh, tetapi dicari pada actus reus. Actus maksudnya acting, tindakan atau delik, sedangkan reus maksudnya rea, yakni jahat atau tindakan jahat.
Jika tetap ingin menggunakan alasan mens rea ini, maka KPK hanya bisa menerapkannya kepada anak di bawah umur 5 tahun, bukan kepada manusia dewasa seperti Ahok!
Kalau KPK ingin membohongi rakyat demi melindungi Ahok, pakailah cara yang lebih cerdas dan relevan. Jika alasan memang tidak tersedia, maka segeralah adili Ahok!
IRESS pun memperoleh informasi bahwa Petinggi dari Istana Merdeka memanggil pimpinan BPK dan meminta agar kasus dugaan korupsi RSWS tidak dilanjutkan, agar dengan begitu, Ahok bebas dari proses kasus korupsi RSWS.
Padahal, berdasar audit BPK, pimpinan BPK tersebut mengatakan bukti-bukti adanya korupsi kasus RSWS sudah sangat valid dan material!
Rakyat, mahasiswa dan ribuan guru besar dari berbagai perguruan tinggi sangat kagum kepada KPK dan mereka mendukung KPK secara massif agar UU KPK No. No.20/2001 tidak direvisi. Hal tersebut wajar dan dapat dimaklumi.
Namun mereka seolah tutup mata karena tertipu atau tidak paham terhadap sikap dan kelakuan KPK melindungi Ahok. Minimal ada 3 komisioner KPK yang mengagumi Ahok.
Faktanya, komisioner KPK Laode M Syarif sangat bangga makan dan berfoto bersama Ahok di luar negeri.
Bandingkan dengan kasus Direktur Penyidikan KPK, Firli Bahuri, bertemu TGB di suatu di tempat umum pada acara GP Ansor. Firli dianggap bersalah secara etika, dan kemudian dihukum dengan mutasi keluar KPK.
Ternyata KPK melindungi Ahok dengan dalih tidak ada niat jahat, tidak ada mens rea. Auditor BPK telah dikriminalisasi dan BPK disebut sebagai lembaga korup. Oknum yang sangat tinggi di NKRI telah “memanggil” seorang pimpinan KPK untuk menutup kasus RSWS. Maka KPK resmi menyatakan Ahok adalah orang bersih, tidak bersalah dalam kasus dugaan korupsi RSWS.
Pernyataan resmi KPK terkait kasus RSWS kemudian selalu dirujuk, jadi dalih dan disebarkan pemerintah dan para pendukung Ahok ke seluruh dunia: bahwa Ahok adalah orang bersih yang tidak mempunyai masalah hukum dan tidak terlibat berbagai kasus dugaan korupsi.
Faktanya memang, tidak satu pun dari berbagai kasus dugaan korupsi Ahok yang diproses secara “normal” oleh KPK dan Polri. Sehingga, Ahok memperoleh predikat bebas korupsi dan bahkan predikat pendobrak yang siap membersihkan mafia di BUMN. Wow!
Kemudian, rakyat diminta menerima kebohongan, informasi sesat dan pengangkatan Ahok menjadi Komut Pertamina. Disebutkan Ahok adalah salah satu putra terbaik bangsa yang bersih dan berprestasi dan sangat layak menduduki posisi pimpinan di BUMN.
Sebaliknya, siapa saja yang mengkritik, mempermasalahkan dan menolak Ahok, dapat saja diberi label sebagai pribadi atau kelompok yang memiliki dendam pribadi terhadap Ahok, berlatar belakang Aksi 212, gagal move-on, anti keberagaman, intoleran, dsb.
Tampaknya kehidupan masyarakat sudah terbolak-balik: akibat pendekatan politik kekuasaan oligarkis, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Indonesia telah menjadi negara yang dijalankan tanpa prinsip moral Pancasila.
Penegakan Hukum dan Gonjang-ganjing Kehidupan Bangsa
Akibat perlindungan pemerintah yang berlebihan terhadap Ahok dalam kasus penistaan agama, pada 2016-2017 gelombang protes terus meningkat. Melihat situasi ini, dalam sebuah rekaman video yang IRESS terima, Ketua MUI Pof. Kiai Ma’ruf Amin pernah mengatakan Ahok adalah sumber konflik.
Dikatakan bangsa ini akan terus berkonflik, jika Ahok tidak dihentikan atau dihabisi. Kita tidak tahu maksud “dihabisi” yang diucapkan Kyai Ma’ruf dan disaksikan pula oleh Ustad Yusuf Mansur tersebut.
Hal ini dapat diklasifikasi langsung kepada Wapres. Namun yang pasti, Wapres pernah mengatakan siapa Ahok dan potensi konflik saja dapat muncul yang bersumber dari Ahok.
Jika sebelum 2016-2017 kehidupan sosial-politik Indonesia aman dan damai, maka setelah kasus Ahok timbul sikap saling curiga dan rakyat nyaris terbelah. Sekarang, guna “mengakomodasi” dan “memberi tempat” bagi Ahok, maka tampaknya kehidupan kembali terusik dan gonjang-ganjing.
Kita meminta pemerintah untuk tidak membiarkan hal ini terus terjadi. Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum harus ditegakkan.
Agenda oligarki yang bekerjasama dengan mafia minyak untuk melanggengkan kekuasaan melalui pengangkatan Ahok sebagai Dirut Pertamina harus dihentikan!
Pasal 1 UUD 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali.
Dengan memberi jabatan komisaris kepada Ahok, yang cacat etika dan moral serta tersangkut berbagai kasus dugaan korupsi dan melanggar prinsip GCG, dan segera akan diangkat menjadi Dirut Pertamina dalam waktu dekat, maka pemerintahan Jokowi telah memberi perlakuan istimewa kepada Ahok. Artinya, pemerintah telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 27 UUD 1945!
Selain pengangkatannya melanggar peraturan, tidak layak secara GCG dan pernah dipenjara akibat masalah moral, Ahok pun pernah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan dan pelanggaran hukum.
Dengan berbagai kasus dugaan korupsi yang disandang, termasuk kasus RSSW yang belum ditutup, maka sangat pantas jika Ahok segera diadili, bukan malah dipromosi.
Dalam waktu dekat, akhir Juli 2023 ini, tampaknya Pemerintah malah akan mengangkat Ahok menjadi Dirut Pertamina. Salah motif di balik promosi tersebut, diduga sangat kuat, adalah menjadikan Pertamina sebagai sapi perah, ATM, bagi pemenangan Pilpres 2024, dengan bekerjasama dengan mafia minyak.
Presiden tinggal memilih apakah menjadikan negara berjalan sesuai hukum, berkeadilan, bermartabat, bebas gonjang-ganjing, demokratis, bersatu, kondusif, saling menghargai, atau sebaliknya, termasuk mengangkat terduga koruptor Ahok menjadi Dirut Pertamina.
Kami harap pemerintah tidak memaksakan kehendak dan segera menurunkan Ahok dari jabatan Komut Pertamina, bukan malah menjadikannya sebagai Dirut Pertamina! ***