DEMOCRAZY.ID - Salah satu isi buku karya Soe Hok Gie berjudul “Catatan Seorang Demonstran” menceritakan kehidupan Soekarno di antara para wanita.
“Aku dapat membayangkan betapa kotornya hidup perkelaminan di sini (Istana Presiden),” tulis Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie melihat sekretaris pribadi Soekarno di Istana Negara berkebaya ketat dengan buah dada yang menggiurkan.
“Terus terang saja, aku melirik padanya, padahal dalam hal ini aku biasanya acuh tak acuh,” kata Hok Gie.
Masih dalam buku karya Soe Hok Gie, suatu ketika Senat Fakultas Sastra UI menerima surat dari Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Profesor Prinojo, dimana Fakultas diminta mengirimkan 20 orang mahasiswi untuk nonton wayang kulit di Istana semalam penuh.
Hal itu sontak membuat Hok Gie dan kawan-kawannya tersinggung, karena seolah Fakultas Sastra adalah pemasok wanita untuk konsumsi istana. Apalagi tidak ada permintaan utk mengundang seorang pun mahasiswa.
Ketika kebanyakan orang bangga ketika diundang ke Istana, beda dengan Soe Hok Gie yang justru sedih dan kecewa, sebab ia menyaksikan betapa kotornya kehidupan di Istana.
“Setiap aku keluar dari istana, aku sedih dan kecewa. Sedangkan biasanya orang lain bangga jika bisa berjabatan tangan dengan Bung Karno,” ucap Gie.
Gie menyebutkan para pengawal Soekarno membuat birokrasi makin sulit.
Soekarno tak bisa lagi ditemui sembarang orang. Seolah-olah dia menjadi tawanan dalam sangkar emas.
“Dalam suasana seperti ini, ada suatu otak yang secara sistematis berupaya ‘mendekadensikannya’. Dia terus menerus disupply dengan wanita cantik yang lihai.
Hartini muncul (siapa yang mempertemukannya?) dan membuat Bung Karno dihancurkan. Sejak saat itu wanita-wanita cantik keluar masuk istana: Baby Huawe, Ariati, Sanger, Dewi dan yang lainnya.”
“Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar-kaisar yang punya harem. Tiap minggu diadakan pesta di istana dengan omongan cabul dan perbuatan-perbuatan cabul,” kata Gie.
Orang Singapura Ini Kuak Sisi Kelam Soekarno: 'Lebih Pentingkan Main Perempuan Saat Ribuan Rakyat Indonesia Kelaparan!'
Sosok Presiden Pertama di Indonesia, Ir. Soekarno dikenal sebagai tokoh perjuangan yang sangat penting dalam memerdekakan Indonesia dari para penjajah.
Namun siapa sangka, ternyata Soekarno menyimpan sejarah yang sangat kelam.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pengguna akun Twitter yang berasal dari Singapura, Michael Jixian Wong.
Dalam cuitannya, Michael mengungkapkan, dulunya Soekarno pernah membangun sebuah mansion besar di kawasan Menteng untuk seorang perempuan yang dibawanya dari Jepang.
Ironisnya, hal itu dilakukannya saat ada begitu banyak rakyat Indonesia yang hidup miskin dan kelaparan.
"Sejarah kelam presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno? Membangun mansion besar di kawasan menteng untuk geisha jepangnya," tulis Michael Jixian Wang dalam cuitan twitnya.
"Sementara di depannya ribuan orang mengantre untuk mendapatkan makanan gratis yang disumbangkan oleh UNICEF," ungkapnya.
Dalam cuitan dan foto tersebut, mendapat perhatian dan respon dari para warganet.
"Presiden yang hanya mikirin selangkangan," kata akun @john_tor12.
"Modal dikasih text proklamasi, jd mandor romusha, trus anak cucu nya merasa paling berjasa buat negara yg laen ngontrak," terang akun @BukanInfluencer.
"Bajunya ala panglima militer lengkap dengan segala emblem2nya, giliran diajak berperang bersama Rakyat oleh Jend. Sudirman, ehhhhh malah milih diasingkan dt4 aman oleh Belanda....," terang akun @d_alienz.
"Soekarno doyan kawin sama daun muda, kadrun juga doi. bong mendadak hening," terang akun @Omar Liem.
Sosok Soe Hok Gie
Soe Hok Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia keturunan tionghoa yang turut andil dalam penurunan kekuasaan Orde Lama.
Lahir di Jakarta, 17 Desember 1942, Gie merupakan anak ke empat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet. Ayah Gie, Soe Lie Pit adalah seorang novelis.
Gie kecil sering mengunjungi perpustakaan umum dan taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta bersama kakaknya, Soe Hok Djin. Lahir dari keluarga penulis membuat Gie begitu dekat dengan sastra.
Seorang peneliti menyebutkan bahwa sejak masih sekolah dasar (SD), Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius jurusan sastra. Selama mengenyam pendidikan di Kanisius inilah minat Gie pada dunia sastra semakin mendalam, serta ia juga mulai tertarik pada ilmu sejarah.
Dari sini, kesadaran berpolitiknya pun mulai bangkit, membuat catatan perjalanan dan tulisan-tulisan Gie menjadi tajam dan penuh kritik. Setelah menamatkan pendidikan di Kanisius, Gie melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (UI).
Gie memilih masuk ke fakultas sastra dan mengambil jurusan Sejarah. Pada saat menjadi mahasiswa ini, Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Gie juga menjadi salah satu pendiri Mapala UI, himpunan mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia, yang salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung.
Gie juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di beberapa media massa, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Sebagai aktivis kemahasiswaan, Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Pada tahun 1983, Gie menerbitkan buku berjudul "Catatan Seorang Demonstran" yang merupakan buku harian Gie sendiri.
Beberapa buku Gie yang lain juga diterbitkan, di antaranya "Zaman Peralihan" (1995) yang merupakan kumpulan artikel Gie selama rentang tiga tahun masa Orde Baru, "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997) dan "Di Bawah Lentera Merah" (1999) keduanya merupakan skripsi Gie yang kemudian dibukukan. [Democrazy/SuaraNasional]