DEMOCRAZY.ID - Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), Ade Armando, meminta Mahkamah Agung (MA) mencabut surat edaran yang melarang hakim mengabulkan pencatatan perkawinan pasangan yang berbeda agama.
“MA selayaknya bertindak sebagai lembaga negara yang berdiri di atas dan memfasilitasi semua golongan. Surat edaran MA itu jelas melanggar hak asasi warga yang sudah dijamin dalam konstitusi,” kata Ade dalam pernyataannya yang disiarkan melalui akun Instagram Gerakan PIS pada Selasa malam, (25/7/2023).
Sebelumnya MA mengeluarkan surat edaran tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan.
Ada dua poin utama dalam surat edaran yang ditandatangani Ketua MA, Muhammad Syarifuddin, itu.
Pertama, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
PIS menganggap MA melalui surat edaran itu cenderung berpihak pada tafsir tertentu terhadap dua pasal tersebut dan meminggirkan tafsir lain yang berbeda.
Kalau dibaca secara jeli, dua pasal itu hanya menyebut “menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya” dan “oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku”.
Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.”
Sementara Pasal 8 huruf f berbunyi, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
“Dua pasal itu sebenarnya tidak secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang seagama adalah perkawinan yang diakui di Indonesia, sementara perkawinan yang berbeda agama adalah perkawinan yang tidak diakui,” kata Ade.
Klausul “sah apabila dilakukan menurut hukum agama” adalah sebuah pernyataan yang multi tafsir.
Tafsir yang pertama adalah yang berpandangan bahwa satu-satunya perkawinan yang direstui ajaran agama adalah pernikahan pasangan yang se-agama, sedangkan perkawinan yang berbeda agama adalah perkawinan yang tidak direstui ajaran agama.
Selama ini tampaknya banyak anggota masyarakat yang percaya tafsir ini adalah satu-satunya tafsir tentang persoalan pernikahan berbeda agama.
Padahal, ada tafsir lain tentang pernikahan berbeda agama. Yaitu, tafsir yang berpandangan bahwa pernikahan yang se-agama dan perkawinan yang berbeda agama adalah sama-sama perkawinan yang direstui ajaran agama.
Dalam Islam, misalnya, tafsir yang kedua ini dianggap valid karena merujuk pada ayat-ayat al-Quran dan pengalaman Nabi Muhammad serta sejumlah sahabat Nabi Muhammad.
Dari catatan sejarah Islam, Nabi Muhammad diketahui memiliki dua istri yang beragama non-Islam, yaitu Shafiyah binti Huyay dan Mariyah Al-Qibthiyyah. Shafiyah beragama Yahudi, sementara Mariyah beragama Kristen.
“Bagi yang menganggap perkawinan berbeda agama adalah perzinahan, apakah mereka tega mengatakan itu pada pernikahan Nabi Muhamamad dengan Shafiyah dan Mariyah?” gugat Ade.
Selain itu, bila dipelajari isi al-Quran, tidak ada satupun ada ayat al-Quran yang menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh menikah dengan non-muslim. Yang ada adalah larangan bagi umat Islam menikah dengan kaum musyrik dan kafir.
Dalam hal ini, lagi-lagi, penyamaan kaum musrik dan kafir dengan kaum non-muslim adalah sesuatu yang terbuka atas penafsiran berbeda.
Karena adanya penafsiran ajaran agama yang selama ini diakui, seharusnya MA tidak masuk terlalu jauh. Apalagi sampai memenangkan satu tafsir tertentu dan meminggirkan tafsir lain yang berbeda.
Sebagai lembaga negara, MA seharusnya melampaui keragaman tafsir ajaran agama itu. MA selayaknya memfasilitasi warga negara yang mencatatkan perkawinannya, tanpa bias tertentu terhadap tafsir ajaran agama soal perkawinan berbeda agama.
Bagi warga yang menganggap perkawinan berbeda agama dilarang sesuai keyakinannya, maka MA wajib menghormati keyakinan mereka.
Sebaliknya, bila ada warga yang menganggap perkawinan berbeda agama sah menurut keyakinannya, sudah sepantasnya MA juga memfasilitasi mereka agar dapat yang mencatatkan perkawinannya.
Dengan solusi itu, perkawinan dan pencatatan perkawinan berbeda agama tetap dianggap sah di mata hukum.
Dengan begitu, MA dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara.
“PIS berharap MA mau mencabut surat edaran itu. Pernikahan adalah hak asasi dan merupakan perintah dari Allah SWT. Karenanya, pelaksanaannya dan pencatatannya tidak boleh dihalangi oleh siapa pun,” pungkas Ade. [Democrazy/poskota]