DEMOCRAZY.ID - Ini adalah pengalaman yang saya rasakan sendiri beberapa tahun yang lalu. Tepatnya ketika saya memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama.
Hidup dan besar di lingkungan NU, secara otomatis membuat saya juga berada dalam golongan penganut atau anak NU.
Yang itu artinya saya sholat subuh dengan menggunakan doa qunut. Tapi bagaimana jadinya saya yang sedari kecil diajarkan ajaran NU justru harus mendapatkan guru dari golongan Muhammadiyah?
Salah masuk sekolah?
‘Tidak! Saat itu saya masuk di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Temanggung. Ya, sebuah SMP Negeri, dan bukan sekolah swasta ataupun sekolah di bawah naungan lembaga yayasan Muhammadiyah.
Memang di SMP ini, pembentukan moral dan perilaku siswa sangat diutamakan. Kegiatan ibadah diperketat dengan adanya sholat dhuha, sholat dhuhur berjamaah, dan sholat Jum’at yang wajib diikuti oleh seluruh warga sekolah.
Awalnya saya merasa aneh, karena saya tidak terbiasa mengikuti sholat jumat ketika di rumah. Namun, karena sudah menjadi peraturan sekolah, saya hanya bisa mengikutinya.
Bagaimana dengan pemeluk agama lain? Mereka punya kelas tersendiri pada saat kami yang muslim menjalankan ibadah.
Bacaan sholat yang tercampur
Inilah problem utama yang saya rasakan. Sebagai penganut NU, saya terbiasa membaca kabiro dan bukan allahumma baid baini.
Namun di sekolah, sebelum dimulainya pelajaran agama, kami diwajibkan untuk membaca bacaan sholat Muhammadiyah beserta artinya.
Saya hanya bisa menurut, karena semua anak melakukan hal yang sama. Dan bacaan inilah yang nantinya akan menjadi bacaan saat ujian praktik sholat.
Bagaimana bisa? Saya yang seorang NU justru malah hafal di luar kepala bacaan sholat beserta artinya milik Muhammadiyah.
Kebiasaan ini yang akhirnya membuat saya kala itu mencampur bacaan saat melaksanakan sholat. Saya yang notabenenya cuek dan nggak mau pusing awalnya menganggap ini adalah hal biasa dan lumrah terjadi.
Tapi akhirnya, saya menceritakan ini semua kepada guru ngaji saya di rumah. Dan bagaimana respon beliau? Tentulah saya habis kena ceramah karena mencampur bacaan sholat. Dari mulai sejak saat itu, saya kembali mempelajari bacaan sholat versi NU sepenuhnya.
Pesan untuk sekolah dari anak NU
Saya kurang tahu apakah ini masih terjadi atau tidak, tapi semoga tulisan ini sampai kepada guru-guru saya tercinta di SMP Negeri Parakan. Kalau bisa, biarkan kami menggunakan kepercayaan kami masing-masing dalam beribadah.
Sama halnya dengan teman-teman kami yang menganut agama lain. Karena basic sekolah merupakan sekolah Negeri yang itu artinya siapa saja dari golongan apa saja bisa masuk di dalamnya.
Bukan sekolah dibawah yayasan atau lembaga tertentu. Ajarkan kami pendidikan multikultural agar kami bisa menghargai perbedaan. Dan kejadian mencampur bacaan sholat seperti yang saya lakukan tidak terjadi lagi.
Zya El Zaayan, Tlahab, Kledung, Temanggung, Jawa Tengah