BANJIR WADAS
Dua hari sebelum izin penetapan lokasi (IPL) pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, berakhir, Badan Pertanahan Nasional (BPN) berkukuh mengukur tanah warga Desa Wadas, Kecamatan Bener. Petugas BPN memaksa mengukur tanah warga meski mereka menolak perkebunan miliknya dijadikan lokasi tambang andesit.
Warga Wadas, Siswanto, 30 tahun, mengatakan petugas BPN mengancam akan menempuh mekanisme konsinyasi jika masyarakat tetap menolak lahannya diukur. Konsinyasi adalah penitipan uang ganti rugi lahan di pengadilan negara karena pemilik lahan tidak sepakat dengan ganti rugi tersebut.
“Akhirnya, kami izinkan mengukur, tapi kami tak menandatangani berkas apa pun dari BPN,” kata Siswanto, Senin, 10 Juli lalu.
Izin penetapan lokasi yang dimaksudkan adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20/Tahun 2021 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. SK ini diteken Gubernur Ganjar Pranowo pada 7 Juni 2021 dan berakhir 7 Juni lalu.
SK tersebut menjadi pijakan penetapan lokasi tambang andesit di Desa Wadas seluas 114 hektare atau sepertiga luas Desa Wadas.
Proses pengadaan tanah dilakukan BPN bersama Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO)—penanggung jawab pembangunan Bendungan Bener.
Andesit di Desa Wadas akan menjadi bahan baku pembangunan Bendungan Bener, yang berjarak 11 kilometer dari Wadas. Bendungan Bener masuk dalam proyek strategis nasional, yang ditargetkan pembangunannya rampung pada tahun ini.
Anggaran proyek ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 2,06 triliun. Bendungan tersebut dikerjakan tiga perusahaan badan usaha milik negara, yaitu PT Brantas Abipraya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Waskita Karya Tbk.
Hingga saat ini, BPN sudah mengganti rugi lahan masyarakat Wadas seluas 90 hektare. Tersisa 24 hektare lahan yang belum dibebaskan. Tanah ini milik 114 warga, termasuk Siswanto.
Siswanto berkukuh tak ingin menjual tanahnya karena merupakan area tempatnya bercocok tanam. Di lahan seluas 1 hektare itu, ia menanam berbagai macam jenis tanaman, baik buah-buahan maupun rempah-rempah. “Hidup kami sudah sangat cukup dan sejahtera dari hasil alam Wadas,” kata dia.
Ia menilai tambang andesit justru akan merusak lingkungan dan permukiman warga Wadas. Siswanto bersama separuh warga Wadas sudah berulang kali menentang rencana penambangan tersebut.
Saat petugas BPN akan mengukur tanah Desa Wadas pada 8 Februari 2022, warga berunjuk rasa. Akhirnya, ratusan polisi yang mengawal pengukuran tanah itu menangkap 60 warga. Polisi juga bertindak represif. Tidak berselang lama, polisi melepas warga.
Sebelum upaya paksa pengukuran tanah, petugas BPN pernah mengancam warga bahwa mereka akan menempuh jalur konsinyasi. BPN mengeluarkan surat konsinyasi pada 10 Maret 2023.
BPN meminta warga segera melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan paling lambat pada 24 Maret. Jika warga tidak menyerahkan berkas permohonan sampai batas waktu tersebut, BPN akan menempuh mekanisme konsinyasi.
Namun Siswanto dan penentang tambang andesit bergeming. Mereka justru mendatangi kantor BPN Purworejo pada 20 Maret 2023.
Di sana, mereka bertemu dengan Kepala BPN Purworejo, Andri Kristanto. Hasilnya, kedua pihak sepakat tidak melakukan konsinyasi.
Pelanggaran Izin
Pekan lalu, Talabudin, 32 tahun, melewati jalan utama di Dusun Karang Krajan, Desa Wadas. Pada perbukitan yang posisinya lebih tinggi daripada jalan utama tersebut tengah dibangun jalan penghubung ke lokasi tambang andesit. Jalan itu direncanakan sepanjang 1,8 kilometer.
Para pekerja terlihat tengah membabat pepohonan menggunakan alat berat. Lalu mereka meratakan tanahnya. “Kami lihat mereka masih melakukan aktivitas pembukaan lahan,” kata Talabudin, kemarin.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, menegaskan, saat izin penetapan lokasi sudah berakhir, seharusnya aktivitas tambang dihentikan, termasuk proses pembangunan jalan ke area tambang.
“Seharusnya diselesaikan dulu proses pengadaan tanahnya. Jika belum, proses konstruksi tidak boleh dilanjutkan,” kata Julian.
Menurut Julian, tindakan melanjutkan aktivitas pertambangan berpotensi maladministrasi. Sebab, pada prinsipnya, urusan proses pengadaan tanah belum selesai dengan warga.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala, mengatakan kegiatan konstruksi tambang tidak boleh dilanjutkan sebelum proses pembebasan lahan warga tuntas. Faktanya, kata dia, masih ada sekitar 25 persen tanah warga yang belum dibebaskan.
“Dengan demikian, seharusnya aktivitas pembukaan jalan yang notabenenya merupakan kegiatan konstruksi harus dihentikan,” kata Satrio.
Ia menduga, setelah IPL habis, pemerintah akan menabrak tanah-tanah yang belum dibebaskan.
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, sependapat dengan Satrio.
Ia mengatakan aktivitas pembukaan lahan di Wadas seharusnya dihentikan terhitung sejak 7 Juni lalu. Jika kegiatan yang berkaitan dengan penambangan tetap berlanjut, akan berkonsekuensi hukum. “Implikasi hukumnya adalah perbuatan tanpa izin,” kata Jamil, kemarin.
Menurut Jamil, kegiatan pembukaan lahan dan pembangunan konstruksi jalan ke lokasi tambang tersebut masuk kategori pelanggaran administrasi dan berpotensi melanggar pidana lingkungan hidup.
Sebab, aktivitas tersebut mengubah bentang alam dan kondisi fisik, menyebabkan pencemaran, serta mengakibatkan kerusakan lingkungan. “Nah, itu bisa ke sana. Apalagi kemarin terjadi banjir. Ini bisa mengarah ke pertanggungjawaban lebih besar,” ujarnya.
[Koran Tempo, Selasa, 11 Juli 2023]