DEMOCRAZY.ID - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah permasalahan penyelenggaraan ibadah Haji pada 1443 Hijriyah atau 2022 Masehi.
Objek pemeriksaan terkait permasalahan ini dilakukan terhadap Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.
Ketua BPK Isma Yatun mengatakan, setumpuk masalah penyelenggaraan Haji pada periode 2022 ini telah termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2022.
IHPS ini pun telah ia serahkan kepada para anggota DPR pada hari ini, Selasa (20/6/2023) saat rapat paripurna di DPR, Jakarta.
"IHPS II Tahun 2022 juga memuat hasil pemeriksaan atas penyelenggaraan ibadah haji tahun 1443H/2022M yang menyimpulkan bahwa masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diselesaikan, dapat memengaruhi efektivitas kinerja pelaksanaan ibadah haji," kata Isma.
Dikutip dari IHPS II Tahun 2022, laporan hasil pemeriksaan atas penyelenggaraan ibadah haji ini terhadap 2 objek pemeriksaan, yaitu pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1443H/2022M pada Kemenag dan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan kesehatan haji tahun 2021-semester I 2022 pada Kemenkes.
Adapun temuan permasalahan pertama dalam Petunjuk Teknis Pengelolaan Keuangan Operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji (Juknis PKOPIH) 2022 yang tidak mendukung transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan haji.
Permasalahan ini di antaranya pengaturan pejabat pengelola keuangan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat pengaturan standar biaya yang tidak mengacu pada Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2022.
Selain itu, keuangan haji menanggung subsidi atas jemaah yang tidak memenuhi persyaratan keberangkatan haji, yaitu jemaah yang berangkat lebih dari sekali dalam kurun waktu 10 tahun.
Hal ini mengakibatkan keuangan haji terbebani atas dampak pelaksanaan Juknis PKOPIH sebesar Rp 1,49 miliar dan senilai Riyal Arab Saudi atau SAR 21,05 ribu, serta subsidi untuk jemaah yang tidak memenuhi persyaratan keberangkatan sebesar Rp 19,20 miliar.
Isma Yatun sendiri menekankan, secara umum regulasi kuota haji juga belum mengatur jumlah kuota jemaah haji lanjut usia, pembimbing kelompok bimbingan ibadah haji dan umrah (KBIHU) dan petugas haji daerah.
Perhitungan dan pendistribusian kuota haji ke provinsi dan kabupaten atau kota pun belum sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
"Atas hal tersebut, BPK merekomendasikan Pemerintah agar menetapkan peraturan jumlah kuota jemaah haji lanjut usia, pembimbing KBIHU dan petugas haji daerah, serta menghitung kuota per provinsi atau kabupaten atau kota sesuai dengan ketentuan," ucap Isma.
Selanjutnya, permasalahan yang menjadi temuan terkait penempatan akomodasi kelompok terbang (kloter) tidak optimal sehingga terdapat sisa penempatan pada Hotel Al Kiswah di Makkah dan hotel di Madinah masing-masing sebanyak 1.317 bed atau tempat tidur dengan nilai SAR 6,12 juta dan 34.164 bed dengan nilai SAR 40,39 juta yang tidak digunakan.
Hal tersebut mengakibatkan pemborosan keuangan haji atas penyediaan akomodasi Makkah dan Madinah sebesar SAR 46,51 juta.
BPK pun telah merekomendasikan supaya Menteri Agama memerintahkan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk lebih cermat menetapkan pedoman penyediaan akomodasi yang lebih rinci.
Pengadaan health wear jemaah haji berupa smart watch yang dilengkapi dengan fungsi skrining kesehatan, juga menjadi temuan BPK karena tidak sesuai dengan ketentuan, antara lain: (1) pengadaan health wear melalui e-katalog lebih mahal dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pengadaan lelang cepat sebesar Rp 90,00 juta.
Hasil pengadaan health wear belum memiliki izin edar sebagai alat kesehatan, dan pemanfaatan hasil pengadaan health wear tidak optimal karena belum seluruh hasil pengadaan terdistribusi kepada jemaah haji.
Pekerjaan pengadaan paket jemaah haji Indonesia tahun 2022 tidak didukung perencanaan yang cermat dan pelaksanaannya belum tertib.
Akibatnya, terdapat jemaah haji reguler yang memperoleh paket jemaah tidak lengkap dan kondisi tas kurang memadai.
Selain itu, ada potensi pemborosan atas kelebihan perhitungan kebutuhan pengadaan paket jemaah pada 2022 senilai Rp 1,19 miliar dan atas sisa stok paket jemaah pada 2019 dan 2021 yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan pengadaan paket jemaah tahun 2022 senilai Rp 1,26 miliar.
"Dan terdapat sisa stok barang dalam paket Jemaah yang sudah tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan ibadah haji tahun 2023 karena masuk masa kedaluwarsa," tulis BPK dalam IHPS II 2022.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas penyelenggaraan ibadah haji mengungkapkan 19 temuan yang memuat 32 permasalahan.
Permasalahan tersebut meliputi 10 kelemahan sistem pengendalian intern, 15 permasalahan ketidakpatuhan sebesar Rp 120,50 juta, dan 7 permasalahan terkait ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp 194,61 miliar. [Democrazy/CNBC]