DEMOCRAZY.ID - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri bongkar akal-akalan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani yang menyebut utang seolah tidak menyengsarakan. Menumbuhkan ekonomi karena produk domestik bruto (PDB) naik.
“Yang saya enggak suka dari cara pemerintah itu, memilih-milih indikator untuk menunjukkan utang itu, naik, bermanfaat untuk pembangunan. Jadi, tambahan utang lebih kecil dari tambahan PDB. Kemudian tahunnnya dipilih supaya efeknya maksimum,” kata Faisal, dikutip dari diskusi bertajuk Utang Pemerintah, Oligarki dan Masa Depan Indonesia yang disiarkan lewat Youtube Forum Insan Cinta, Rabu (28/6/2023).
Untuk lebih meyakinkan publik bahwa utang bukanlah sesuatu yang positif, kata Faisal, pemerintah (Sri Mulyani), sengaja memilih tahun-tahun yang tepat. Padahal, langkah itu bisa jadi malah menyesatkan publik.
“Kalau pemerintah kan (pakai data) dari 2018 ke 2022. Karena lebih banyak (pertumbuhan) PDB ketimbang tambahan utang. Tapi kalau mulainya 2015, ceritanya akan jauh berbeda,” tuturnya.
Terkait utang, kata Faisal, ada hal krusial yang menunjukkan ketidakjujuran pemerintah. Selama ini, sebagian besar utang baru dialokasikan pemerintah untuk membayar bunga utang.
Selanjutnya untuk belanja pegawai (gaji), dan belanja alat. Sisanya yang secuil digunakan untuk belanja pembangunan.
“Nah, kalau kebijakannya dibalik, utang untuk belanja pembangunan, baru keren. Dampaknya dahsyat. Ada pembangunan, roda ekonomi berputar,” jelasnya.
Kondisi saat ini, kata Faisal, jauh lebih buruk ketimbang era Soeharto. Kala itu, utang pemerintah digunakan untuk pembangunan.
“Zaman Soeharto, utang digunakan untuk pembangunan. Ndak ada untuk belanja pegawai atau bayar bunga. Jadi, tolonglah jujur, yang jelek bilang jelek. Jangan yang jelek dibilang bagus. Meninabobokan itu,” tandas Faisal.
Sri Mulyani pernah membanggakan kebijakan utang Indonesia efektif mendorong peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) atau GDP semasa pandemi.
Selama 2018-2022, kata Sri Mulyani, setiap penambahan utang 1 dolar AS, terjadi penambahan PDB yang lebih gede, yakni 1,34 dolar AS. Selama selama periode 2018 hingga 2022.
“Ini pelajaran untuk kita semua, memang kenaikan PDB tidak seharusnya tergantung atau hanya didukung oleh utang karena pasti tidak akan sustainable, tapi dalam hal ini Indonesia masih dalam posisi yang cukup baik, yaitu setiap 1 dolar menghasilkan 1,34 tambahan PDB di mana terjadi shock yang luar biasa seperti pandemi yang mana hampir semua perekonomian mengalami kolaps,” kata Sri Mulyani.
Pada 2018 hingga 2022, kata Sri Mulyani, Kemenkeu mencatat nominal PDB lebih besar dibandingkan utang pemerintah, masing-masing sebesar 276,1 miliar dolar AS, dan 206,5 miliar dolar AS.
“Apabila dibandingkan negara emerging power lainnya seperti India dan Malaysia, perbandingan PDB dan utang Indonesia dapat dikatakan masih cukup efektif,” ungkap Sri Mulyani. [Democrazy/Inilah]