DEMOCRAZY.ID - Partai Demokrat menilai penegakan hukum di dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi makin lemah dan mundur.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman berpendapat berpendapat pemerintah saat ini terkesan 'mengaduk-aduk' lembaga penegak hukum, seperti seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mungkin perasaan saya subjektif dan tidak dirasakan orang lain. Perasaan saya, penegakan hukum di era Jokowi ini jatuh, mundur. Politik yang dia (Jokowi) kedepankan, bukan hukum," kata Benny dalam Podcast 'What the Fact! Politics' CNNIndonesia.com, Senin (12/6).
Benny pun membandingkan pada 10 tahun pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak ada kasus jenderal polisi menembak mati anak buahnya sendiri.
Benny selanjutnya menyoroti soal putusan MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun. Hal ini ia duga bertalian dengan kepentingan politik di 2024.
Ia menilai MK periode sekarang tak mengilhami perannya sebagai penjaga konstitusi. Benny juga menyinggung momen pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR dan digantikan dengan Guntur Hamzah.
"Itu yang saya rasakan, mengaduk-aduk kekuatan, mengaduk-aduk lembaga penegak hukum, mengaduk-aduk KPK. Itu terjadi di zaman Jokowi itu, ya kan, MK juga sama," kata dia.
Namun, Benny sendiri mengaku tidak mudah menyuarakan kegelisahan dan kekhawatirannya di parlemen karena saat ini parpol oposisi menjadi minoritas.
Menurutnya, dari sembilan fraksi parpol di DPR RI, hanya Demokrat dan PKS yang menjalankan check and balances terhadap pemerintah.
Dalam kesempatan itu, Benny juga berbicara soal upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan Moeldoko terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) terkait Kongres Luar Biasa Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Menurutnya, Demokrat tak bisa begitu saja mengajukan hak angket untuk menyelidiki dugaan Presiden Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan partai Demokrat yang dilakukan oleh Moeldoko.
Adapun hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Bahwa fakta itu ada tidak secara otomatis ya kan output-nya, hasilnya, adalah dengan melakukan penyelidikan, melakukan angket, kenapa? Ya, itu tadi majority. Kecuali seperti tahun 1998 rakyat yang memaksa," ujar dia.
Demokrat Lihat Gejala Penegak Hukum Jadi Alat Politik Jelang Pemilu
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K. Harman melihat ada gejala penegak hukum dan 'pembantu' Presiden Joko Widodo menjadi alat politik jelang Pemilu 2024.
Salah satunya ketika Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko merong-rong Partai Demokrat. Langkah yang dilakukan baru-baru ini adalah mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
"Gejalanya sudah mulai muncul, [contoh] gejala partai Demokrat, ya kan. Ada upaya PK KSP Pak Moeldoko, tidak ada agenda, tidak ada hujan, jelas-jelas tidak ada standing hukum mengajukan PK," kata Benny dalam Podcast 'What the Fact! Politics' CNNIndonesia.com, Senin (12/6).
Menurutnya, itu patut disorot dan disebut gejala. Pasalnya, Moeldoko adalah pembantu Jokowi.
Gejala kedua adalah apa yang sedang dialami partai NasDem belakangan. Diketahui, NasDem merupakan mitra Demokrat dan PKS dalam koalisi pengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.
Apa yang dialami NasDem baru-baru ini adalah ketika Menkominfo Johnny G Plate diusut kasus dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung. Johnny merupakan Sekjen Partai NasDem.
"Apa yang dihadapi oleh partai NasDem, itu gejala. Tapi saya tidak menyimpulkan atau mengatakan bahwa apa yang dialami NasDem saat ini adalah bentuk cawe-cawe," imbuhnya.
Benny lantas mengingatkan Presiden Jokowi 'haram' ikut campur atau cawe-cawe dalam urusan Pilpres 2024.
Ia tidak mempermasalahkan apabila Jokowi memiliki sosok yang dijagokan. Namun ia mewanti-wanti Jokowi tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk membantu sosok yang didukung.
Apabila kondisi itu terjadi, lanjut Benny, maka akan terjadi persaingan tidak sehat dalam demokrasi.
"Saya belum melihat itu ya, saya belum melihat apakah ada cawe-cawe begitu, tapi mungkin bukan Presiden. Tetapi kalau Presiden diam saja apabila ada anak buahnya, pembantu-pembantunya, para menterinya, aparat penegak hukum ikut cawe-cawe, itu sangat berbahaya," ujar Benny. [Democrazy/CNN]