DEMOCRAZY.ID - Masyarakat dihebohkan dengan kabar terkait sidang pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Pemicunya adalah kicauan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana yang bilang kalau MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup.
"Kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," ujar Denny seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya.
Lantas, siapa sumber informasi yang disebut Denny penting tersebut? Ia enggan menjelaskannya. Yang pasti, orang itu sangat dipercaya kredibilitasnya.
"Yang pasti bukan Hakim Konstitusi. Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," kata Denny.
Kicauan Denny lantas dikomentari oleh Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono juga melalui akun Twitter pribadinya.
Menurut SBY, Denny merupakan mantan wamenkumham dan ahli hukum yang kredibel.
"Jika yang disampaikan Prof Denny Indrayana "reliable", bahwa MK akan menetapkan Sistem Proporsional Tertutup, dan bukan Sistem Proporsional Terbuka seperti yang berlaku saat ini, maka hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia *SBY," tulis SBY.
SBY lantas menyampaikan tiga pertanyaan kepada MK berkaitan dengan sistem pemilu yang hendak diputuskan MK.
Salah satunya adalah apakah ada kegentingan dan kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai?
SBY mengingatkan DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU.
"Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan "chaos" politik *SBY*," tulisnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga berkicau menanggapi informasi yang disampaikan Denny. Menurut dia, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan.
"Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah," kata Mahfud seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya.
"Putusan MK itu menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan, tapi harus terbuka luas setelah diputuskan dengan pengetokan palu vonis di sidang resmi dan terbuka. Saya yang mantan ketua MK saja tak berani meminta isyarat apalagi bertanya tentang vonis MK yang belum dibacakan sebagai vonis resmi. MK harus selidiki sumber informasinya."
Lantas, apa plus dan minus dari kedua sistem pemilu tersebut?
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irawan menilai sistem pemilu terbuka (coblos caleg) atau tertutup (coblos partai) sudah menjadi perbincangan publik belakangan ini.
"Ada minusnya, kalau kita yang tertutup nanti kita istilahnya ada yang bilang, 'beli kucing dalam karung', ada yang istilahnya seperti itu," kata Benni usai mendampingi Mendagri Tito Karnavian rapat kerja bersama Komisi II DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara, sebut Benni, sistem proporsional terbuka atau coblos caleg dianggap mengakomodasi keinginan masyarakat memilih caleg jagoannya secara langsung.
Menurutnya, kelebihan dan kekurangan dari kedua sistem ini perlu menjadi pertimbangan.
"Sementara kalau kita yang terbuka kan kita tahu, masyarakat tahu, dia memilih orangnya yang mana, sehingga harapan untuk salah pilih itu kecil. Karena itu yang dia tahu, dia mengetahui, dan itu yang dia inginkan dia akan pilih itu," katanya.
"Itu salah satu, dan ada juga yang lain-lain ya. Yang perlu menjadi pertimbangan nanti bersama-sama," imbuhnya.
Benni melanjutkan sistem proporsional tertutup akan mengakomodasi lebih banyak peran partai.
Sebaliknya, sistem proporsional terbuka tak banyak melibatkan peran partai dalam menentukan caleg yang lolos ke parlemen.
"Kalau yang tertutup itu lebih banyak mungkin peran partai, sementara yang terbuka peran partainya sedikit. Dan banyak di lapangan juga untuk soal kaderisasi juga nanti menjadi isu tersendiri kalau ada isu terbuka dan tertutup ini," katanya.
Meskipun demikian, Benni mengungkit arahan Mendagri Tito bahwa pihaknya tetap mengikuti putusan MK terkait sistem pemilu ini.
"Tapi kami di Kementerian Dalam Negeri ya Pak Menteri sudah bilang, ya, kita menunggu putusan dari MK, ya dua-duanya sama-sama baik. Kita menghormati nanti putusan MK seperti apa," kata dia.
PDIP dukung proporsional tertutup
Sebanyak delapan dari sembilan partai di parlemen pun telah menolak sistem proporsional tertutup. Hanya satu partai yang menginginkan sistem tersebut, yaitu PDIP.
"Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi partai," kata Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Kembali ke Hasto, dia menyebut sistem proporsional tertutup ini pernah diterapkan pada Pemilu 2004. Saat itu, ada kontestasi Pemilu Legislatif serta Pemilu Pilpres I dan II dengan menelan biaya hanya sekitar Rp 3,7 triliun.
Dalam kesempatan terpisah, Hasto mengeklaim telah melakukan penelitian khusus yang menyebut bahwa sistem proporsional terbuka selama ini menciptakan liberalisasi politik di Indonesia.
Liberalisasi politik, katanya, berdampak pada munculnya kapitalisasi politik, persaingan politik yang tak sehat, hingga lahirnya oligarki.
Sehingga, menurut Hasto, sesuai hasil Kongres kelima, PDIP menilai sistem proporsional tertutup telah sesuai konstitusi.
Pihaknya ingin agar dalam pemilihan legislatif, hanya partai yang menjadi represenstasi bagi pemilih.
"Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di UI, di mana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral," kata Hasto dalam jumpa pers akhir tahun yang disiarkan secara daring, Jumat (30/12/2023).
"Dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara," imbuhnya.
Sistem proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia sepanjang pemerintahan Orde Baru dan terakhir pada Pemilu 1999. Sistem tersebut kemudian diubah mulai Pemilu 2004.
Hasto menilai sistem proporsional tertutup dapat memperbaiki kaderisasi di internal partai politik.
Dia juga meyakini sistem proporsional tertutup akan menekan tingkat kecurangan dalam pemilu.
"Maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan dan terpenting setelah berbagai persoalan ekonomi kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan," katanya.
Namun begitu, menurutnya, peluang soal wacana itu sepenuhnya menjadi kewenangan DPR. Ia menyerahkan sepenuhnya pembahasan terkait kembali diberlakukannya sistem proporsional tertutup ke parlemen. [Democrazy/cnbc]