DEMOCRAZY.ID - India saat ini terus mengalami pertumbuhan populasi.
Bahkan, Negeri Hindustan itu digadang-gadang telah menyalip China sebagai negara terpadat di dunia, dengan populasi mencapai 1,4 miliar jiwa.
Namun, hal ini telah memicu persoalan baru. Pasalnya, laju kelahiran yang tinggi telah menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi yang baru.
Sementara Pemerintah India telah mencoba mengendalikan populasi dengan program Keluarga Berencana (KB), belum ada hasil yang signifikan dari program itu.
Meski begitu, pengendalian ini justru mulai dilakukan oleh para ulama muslim yang mencatutkan soal kelahiran kepada jamaahnya.
Muslim adalah komunitas agama terbesar kedua di India dan menyumbang 14,2% dari 1,2 miliar penduduk per 2011.
Mayoritas India sendiri masih dipegang umat Hindu yang menyumbang 79,8%.
Tren keluarga Muslim yang lebih kecil telah terlihat dalam 15 tahun terakhir.
Survei Kesehatan Keluarga Nasional menunjukkan penurunan tingkat kesuburan Muslim menjadi 2,4 pada 2019-2021, lebih kecil dibandingkan 2,6 pada periode 2015-2016 dan 3,4 pada 2005-2006.
Dalam komunitas yang sebagian besar konservatif, beberapa imam dan ulama Muslim telah memainkan peran besar dalam membawa perubahan.
Imam di Lucknow Eidgah yang berada di Negara Bagian Uttar Pradesh, Maulana Khalid Rasheed, mengatakan Islam dengan tegas telah mencantumkan ajaran tentang membina keluarga yang baik
"Ada kesalahpahaman di kalangan umat Islam bahwa Islam tidak mengizinkan penggunaan tindakan pengendalian kelahiran," katanya kepada Reuters, Rabu (12/4/2023).
"Tapi syariat berbicara tentang keluarga berencana. Adalah tanggung jawab kami untuk menghapus kesalahpahaman ini. Kami telah melakukan program kesadaran, mengajukan permohonan, berpidato tentang apa yang dikatakan syariah tentang masalah tersebut."
Fenomena ini pun sebenarnya sudah mulai diterima di kalangan keluarga kaya dan menengah.
Salah satunya adalah Syed Mohammed Talha, yang dapat menyekolahkan putrinya di sekolah yang bagus dan mahal berkat tanggungan anak yang tidak begitu banyak.
"Jika saya memiliki anak kedua, saya tidak mampu menyekolahkan mereka berdua ke sekolah ini," kata Talha yang membayar hingga 255.000 rupee (Rp 46,2 juta) per tahun untuk uang sekolah anaknya.
"Punya satu anak saja membuat kami bisa fokus padanya, memberinya pendidikan yang baik, banyak fasilitas, banyak manfaatnya."
Hal serupa juga disampaikan Shahid Parvez, pengekspor kerajinan tangan di kota Moradabad di Uttar Pradesh.
Pria berusia 65 tahun itu menyebut ia sebenarnya merupakan satu dari enam bersaudara.
Namun, fenomena banyak anak ini ia pastikan tidak akan diulangi olehnya. Saat ini, Parvez memiliki dua putra dan satu putri.
"Putri saya Muneeza Shahid, seorang guru di Delhi dan menikah baru-baru ini, tidak berencana untuk segera memiliki anak tetapi keuangan bukanlah alasan untuk itu," katanya. "Kami juga ingin menjalani hidup untuk diri kami sendiri."
Meski begitu, para ahli mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk menargetkan Muslim yang kurang berpendidikan dan miskin yang tinggal di luar kota.
Ini utamanya untuk meluruskan pengertian pengendalian jumlah anak.
"Islam menganjurkan keluarga yang sehat dan orang-orang yang memutuskan berapa banyak anak yang ingin mereka miliki," kata Ahmed Daikundh, penjaga masjid Al Azhar di Kishanganj, sebuah distrik pedesaan miskin di Bihar. [Democrazy/cnbc]